Senin, 17 Januari 2011

Mahasiswa Adalah Grombolan Paling Nista


Mahasiswa adalah gerombolan paling nista dalam sejarah panjang penindasan manusia mayoritas oleh sekelompok kecil manusia yang lain. Mahasiswa juga kemudian menjadi sebuah pondasi paling dasar keberlangsungan penindasan itu sendiri.

Teriakan-teriakan yang terdengar dari mulut mereka sebenarnya tak lebih dari parodi kebungkaman atas fakta betapa menyedihkannya hidup muda yang dijalani tanpa tujuan. Para mahasiswa adalah kelompok mesin yang dengan sadar menikmati setiap pengekangan yang dikalungkan di leher mereka. Namun dengan sangat naif berpura-pura sebagai barisan terdepan dalam perubahan yang sebenarnya hanya jalan di tempat. Dan yang terjadi adalah luapan-luapan ekpresi yang ironis dalam label pencarian jati diri yang hanya berujung pada kubangan sebagai seorang proletar tanpa identitas.

Dalam kenyataannya, tak ada satupun penemuan baru yang dilahirkan oleh berbagai diskursus di setiap gedung perkuliahan, ruang-ruang seminar dan berbagai kelompok diskusi maupun organisasi yang digagas oleh mahasiswa. Yang ada hanyalah pengulangan demi pengulangan sebagai bukti tegas betapa kedunguan identitas masyarakat kapitalisme yang beradab dipraktikkan secara benar oleh mereka. Itulah mengapa harapan-harapan yang mereka ciptakan sejatinya hanyalah semburan sperma tanpa arah.

Di tengah-tengah mahasiswa, tak ada lagi penentangan yang eksplosif dan ekspresif atas semua kemapanan ilmu pengetahuan dan tradisi filsafat yang diajarkan oleh dosen-dosen mereka. Meski mereka telah mengetahui borok-borok para pengajar yang adalah perpanjangan tangan dari hierarki yang koersif dan eksploitatif. Kekritisan mereka seperti seekor anjing penjaga rumah orang-orang kaya yang harus menggonggong agar terus mendapatkan asupan daging dan susu setiap pagi dan sore hari.

Kampus mereka adalah kandang yang dihiasi dengan pelbagai aksesoris untuk menutupi ketelanjangan mereka dalam pelacuran paling biadab. Sebuah penjara yang digandrungi karena kebutuhan mereka menjadi sekrup dari mesin pengumpul uang. Dimana mereka membiarkan diri dibentuk sebagai bidak-bidak yang disiapkan menjadi tumbal untuk pesta besar para kapitalis.

Sementara itu, mereka dengan setia terus mengkonsumsi seperti menghisap candu, panduan asas dasar konsumerisme kapitalisme. Membeli buku-buku filsafat dengan harga mahal yang ditulis dalam bahasa yang murahan oleh kumpulan pemikir yang sama menyedihkan di masa lalu dengan mereka. Kumpulan teks para dogmator yang ditugaskan menjamin kelangsungan kapitalisme detik demi detik yang cetak dengan sirkulasi eksploitasi yang sudah mereka pahami.

Tak ada pembangkangan secara langsung yang diarahkan kepada piramida dunia intelektual yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang. Mereka menjadi bangga dengan menjadi kawanan kecil yang beruntung diantara kebanyakan proletar yang dihalang-halangi untuk mendapatkan rasa aman dan makanan untuk bertahan hidup. Mahasiswa menampakan hiperdosis kebanggaan mereka sebagai barisan idiot.

Identitas mereka adalah identitas penindas yang telah sejak dulu hadir ketika corak produksi bergeser. Yang dibekali dengan mental pengecut yang tangannya gemetar untuk melemparkan batu ke dinding-dinding gedung perkuliahan yang membuntungi indera serta melumpuhkan daya hidup yang sebenar-benarnya. Namun mengenakan selimut radikalisme ortodoks yang sama busuknya dengan menjadi pengikut orang-orang tolol sejak zaman Aristoteles hingga Marx bahkan terburuk hari ini adalah menjadi ekor dari bau busuk Derrida, Foccault dan Habermas. Yang telah nyata tak mampu menjelaskan bagaimana mereka terpisahkan dengan sengaja, dari kotak-kotak proletar yang tanpa menghabiskan waktunya untuk duduk bahkan mengerti bagaimana caranya untuk melakukan sabotase di pabrik.

Kisah panjang keberadaan mahasiswa adalah sejarah tanpa nilai. Mereka menggilai dikotomi sebagai akibat dari depresi atas impotensi melawan negara dan kapitalisme yang telah berhasil melakukan separasi atas hidup yang utuh. Sementara itu juga, mereka merengek-rengek meminta diberikan berbagai label tambahan karena kebuntuan mereka menjawab bagaimana rasanya berbagi dalam kekurangan, saling mendukung dalam keletihan dan saling tersenyum dalam perih. Inilah kaum yang paling tragis dalam riwayatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Isi Komentar anda di Sini