Senin, 11 Januari 2010

TANAH BUKAN UNTUK KAPITAL


Laju perkembangan kapitalisme untuk menancapkan cengkraman akumulasi modalnya di berbagai Negara dibelahan dunia telah memberikan banyak rekomendasi kepada berbagai kelompok untuk segera mengevaluasi taktiknya. Sesaat setelah neoliberalisme mengalami Kebangkrutan telah mendorong sebagaian kaum anti-neoliberal di Amerika Latin untuk mengembangkan strategi politiknya sendiri. Pada deakade 1990an muncul tiga proposal : pendekatan Kiri-Tengah yang diajukan oleh politikus-akademisi Meksiko Jorge Castaneda, yang mana kaum kiri meminang "kaum tengah" agar menjauh dari kanan dengan berbasiskan program alternatif terhadap neo-liberalisme; strategi yang diasosiasikan dengan teoretikus Marxis dari Chile Marta Harnecker, yang mana kaum kiri memprioritaskan anti-neoliberalisme, sementara menghindari baik tuntutan-tuntutan yang lebih kiri maupun aliansi dengan kaum kanan yang akan secara substansial mencairkan intisari anti-neoliberalisme; dan strategi yang lebih kiri yang dibela oleh James Petras yang mana tuntutan anti-neoliberal dikedepankan tapi tidak menutupi perjuangan anti-imperialis atau anti-kapitalis. Yang menjadi dasar perdebatan tiga strategi ini adalah tantangan yang dihadapi kaum kiri dalam memformulasikan tuntutan dan tawaran model dalam melawan kapitalisme global. Sepanjang dekade 1990an, hampir semua kelompok kiri Amerika Latin menerapkan strategi dan taktik yang lebih radikal untuk melawan neoliberal, tapi hasilnya dalam front politik maupun ekonomi terbukti mengecewakan.

Di belahan dunia lain Amerika Latin, didataran tinggi meksiko tenggara Subcommandante Insurgente marcos yang diangkat melalui consensus sebagai juru bicara kelompok Zapatista menawarkan sebuah proposal bagi kelompok antineoliberal di seluruh dunia. Gerakan perjuangan memperoleh otonomi masyarakat adat pada tingkat lokal maupun regional memang telah berlangsung lama. Bahkan, pada tahun 1974, Kongres Masyarakat Adat pertama diselenggarakan di San Cris­tobal de las Casas. Dihadiri 1230 delegasi, yang terdiri dan 587 kelompok etnik Tzeltales, 330 Tzotiles, 152 Tojolabales, dan 151 Choles yang mewakili 327 komunitas. Tuntutan otonomi ini ber­pokokkan partisipasi masyarakat adat pada berbagai tingkatan dan bidang kehidupan: ekonomi, politik, budaya, dan proses‑pro­ses pengambilan keputusan formal negara. Zapatista, merupakan revitalisasi semangat Emilio Zapata (pahlawan petani Meksiko yang memperjuangkan reforma agraria di Meksiko di sepanjang masa revolusi 1910‑1917‑lihat kotak ‘Zapata dan Sepak Terjang Zapatista: Caplikan Kisah’). Adalah suatu gerakan bersenjata yang berperang melawan tentara dan pemerintahan federal dengan tujuan membuka ruang politik bagi masyarakat sipil agar mempunyai suatu momentum yang berjuang (1) mewujudkan harga diri masyarakat adat (ber­mula dari daerah‑daerah berbahasa Mayan Jzotzi‑, Tzettal‑, Tojo­labal‑, dan Chol‑ yang tinggal di negara bagian Chiapas) dalam tatanan negara‑bangsa Meksiko yang dinilai rasis; (2) menghenti­kan proyek neoliberal yang dimotori oleh perjanjian kerjasama perdagangan bebas antara pernerintahan Meksiko ‘Amerika Seri­kat, dan Kanada melalui perjanjian NAFTA (North American Free Trade Area) yang mengakibatkan penyingkiran petani dan degra­dasi pedesaan; dan (3) membangkitkan inspirasi masyarakat sipil di Meksiko untuk membentuk suatu koalisi nasional menentang otoritarianisme partai yang berkuasa lama sekali, Institutiona­lized Revolutionary Party (PRI) dan mengembangkan demokrasi akar rumput.

Sebenarnya, gerakan Zapatista, dengan ragam caranya me­nandai kebangkitan (kembali) gerakan rakyat Meksiko khusunya dan gerakan sosial baru di Dunia Ketiga umumnya. Gerakan Zapatista adalah pertama‑tama bukan gerakan berbasis partai, tapi gerakan popu­lis untuk menjalankan agenda masyarakat sipil secara eksplisit. Meskipun berangkat dari realitas derita masyarakat adat, namun gerakan Zapatista menyuarakan tuntutan masyarakat sipil umum­nya atas kendali negara. Ia bukan hanya membangkitkan kelom­pok‑kelompok perjuangan hak‑hak masyarakat adat, tapijuga ke­lompok‑kelompok prodemokrasi, pembaruan hukum, kesetaraan gender, pembaruan/reforma agraria, dan hak‑hak asasi manusia. Lebih lanjut, sebagai bentuk organisasi, gerakan Zapatista mem­bawa masuk sejumlah besar pendukung dalam proses‑proses dan/ atau upaya‑upaya perubahan itu: kelas menengah pada umum­nya; partai politik (oposisi); lembaga‑lembaga penelitian dan pen­didikan (termasuk guru‑guru); ilmuwan’independen’; aktivis‑ak­tivis ‘individual’ (non‑lembaga); LSM (baik nasional, propinsi, maupun lokal/distrik); organisasi massa (termasuk serikat buruh, serikat petani, serikat perempuan, d1l.); lembaga‑lembaga Masya­rakat Adat; komunitas; dan kelompok‑kelompok kepentingan lainnya.

Dengan demikian, suara perlawanan Zapatista melintasi fakta­-fakta penderitaan lokal dengan membongkar akar‑akar penyebab­nya: kontradiksi di dalam sistem kapitalisme dunia yang muara­nya di Meksiko ini tidak dapat dibendung dan bahkan diperderas oleh Pemerintah Federal Meksiko. Inilah yang dihadapi langsung oleh dengan gerakan Zapatista. Gerakan Zapatista bukan saja me­nyatakan melakukan kebajikan revolusi (’tanah dan kemerdeka­an’) dari nenek moyang republik itu, tetapi juga mereka meng­gunakan retorika pemerintah sendiri mengenai demokrasi, identi­tas budaya, partisipasi, dan hak asasi manusia sebagai senjata melawannya. Lebih lanjut, gerakan Zapatista telah membum­bung‑membahana, seperti banyak gerakan sosial baru (the new social movements) lainnya, melalui penggunakan simbol, media elektronik, bentuk‑bentuk baru dari aksi‑aksi kolektif dan organi­sasi gerakan sosial, dan koalisi masyarakat sipil lokal‑nasional­global yang melampaui kemampuan kendali negara atas gerakan­gerakan setempat. Dalam kalimatnya Gerrit Huizer, globalisasi dari atas ditandingi dengan globalisasi dari bawah dan keduanya adalah suatu proses yang dialektik.

Perlawanan masyarakat adat di Chiapas, menurut Luis Her­nandez Navaro, hanya merupakan ‘puncak dari sebuah gunung es’. Dalam realitas sosial‑politik Meksiko yang lebih luas perlawa­nan masyarakat adat itu‑ jauh lebih banyak lagi daripada yang telah diketahui publik secara internasional. Bahkan, sebagaimana diinformasikan Dr. Salomon Nahmad, ada gerakan yang sudah tidak mau lagi masuk dan/atau menggunakan saluran perunding­an untuk menyelesaikan masalah‑masalah yang menjadi tuntutan perjuangannya, yakni gerakan Maois di Oaxaca.

Menurut Lynn Stephen, perjuangan hak‑hak masyarakat adat dan penentuan nasib sendiri di Meksiko melibatkan empat arena kunci: pengalaman lapangan pangan dalam hal otonomi baik secara historis maupun yang sekarang ini; (2) penandatanganan Per­janjian San Andres mengenai Hak‑hak dan Budaya Masyarakat Adat dan Implementasinya; (3) penciptaan dan penguatan gerak­an nasional untuk otonomi masyarakat adat di Meksiko dan be­ragarn interpretasi otonomi dan penentuan nasib sendiri; dan (4) pendefinisian kembali hubungan antara masyarakat adat dan ne­gara Meksiko jauh dari fokus sejarah indigenismo, dengan asindigenismo dengan asimi­lasi sebagai fokusnya.

Berbagai perlawanan masyarakat adat untuk mempertahankan hak-hak adatnya yang dirampas oleh pemerintahan resmi meksiko telah meretas gagasan perlawan kolompok anti neoliberal yang hanya bertujuan merebut kekuasaan, Perlawanan EZLN bukanlah untuk merebut kekuasaan, perlawanan Zapatista hanya sekedar mengingikan agar pemerintahan resmi meksiko mengakui hak adatnya. Kesemuanya ini tentang strategi politik-ekonomi gerakan baru melawan Kapitalisme global.

Dari gambaran di atas telah mengharuskan kita untuk segera membaca ulang konsep usangnya Derrida tentang Dekontruksi, Intertekstualitas, Trace dan Logocentrismedan Metafisika Kehadiran. M. Foucault Tentang Genealogi Pengetahuan dan Kekuasaan. Gilles Deleuze dan Felix Guattari tentang Rizoma,Sejarah,Chaos. R Barthes, Nietzsche, S Freud, K Marx dan beberapa Wacana-wacana postmodern dan poststrukturalis lainnya.

Pemberontakan petani, telah berlansung sedemikian lama. Semuanya memperlihatkan tujuan yang jelas, yakni untuk merombak tatanan yang ada, yang tentunya mengandung unsur ketidakadilan. Eskalasi dan bentuk pemberontakan kaum tani, berbeda-beda antara zaman yang satu dengan zaman yang lain. Misalnya tingkat perlawanan pada masa feodal tidaklah sama besar dengan pada masa imperialis, begitu pula pada masa Orde Lama dan Orde Baru.

Perlawanan kaum tani, mengandung faktor ekonomi dan politik yang saling terkait satu sama lain. Basis material yang merupakan landasan sosial yang utama bagi timbulnya protes kaum tani dan memunculkan pemberontakan. Dalam artian pemberontakan yang terjadi, tidak saja terfokus dan determinan pada penyumbatan aspirasi kelas-kelas bawah, yang sekaligus memarginalkan mereka. Melainkan juga jeritan terhadap sesuatu yang mengancam kehidupan mereka. Sebagai suatu kelas yang akan ditelan oleh gelombang perubahan dunia.

Realitas pemberontakan yang melibatkan kaum tani dalam jumlah yang sangat banyak. Merupakan aliansi kelas mayoritas, yakni petani miskin dan buruh tani. Perlawanan kaum tani tersebut, bukan saja berhadapan denga tuan tanah dan petani kaya, tetapi juga perusahaan ( yang bergerak dalam bidang agraris) dan pemerintah dengan kekuatan represif militeristiknya. Hal ini terjadi akibat benturan kepentingan, antara hak petani untuk penghidupan yang layak, berhadapan dengan segelintir orang atau lembaga yang takut atas terganggunya penghasilan yang besar dari surplus kerja kaum tani

Jauh sebelum diproklamirkannya negara kesatuan Indonesia, berbagai kelompok masyarakat yang tersebar di seluaruh bagian dari nusantara ini telah memiliki kearifan tersendiri dalam mengelola dan menjaga alam sebagai wujud nyata dari upaya melestarikan kekayaan yang ada, baik bagi generasi yang ada saat ini dan anak cucu dari generasi yang akan datang.

Berdirinya negara bangsa (Indonesia) memungkinkan hadirnya serangkaian kebijakan tentang hutan dan pertanahan yang dihasilkan negara, masyarakat adat telah lebih dulu memilikinya. Pandangan, bahwa sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat sebagai perusak hutan dan/atau lingkungan merupakan alasan yang dipergunakan negara terhadap masyarakat. Sedangkan bagi masyarakat adat menjaga kelestarian lingkungan merupakan bagian yang paling penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup sekaligus menandakan identitas. Komunitas petani Kulawi di Kec.Kulawi, Kab.Donggala-Sulawesi-Tengah menyebutkan tanah sebagai tana tumpu bermakna tanah merupakan ibu kami yang harus di jaga dan dipertahankan.

Di Polombangkeng, Kabupaten Takalar, 6000 hektar tanah petani di 12 desa dirampas PT Perkebunan Nusantara PTPN XIV, perusahaan negara yang mengolah tebu menjadi gula. Tak ada rasa manis bagi petani, semenjak lahan mereka dikuasai PTPN XIV dari tahun 1982 hingga hari ini petani terus berlawan dengan model dan otonomi sendiri. Demi ekspor dan swasembada gula, dan atas nama pembangunan serta stabilitas pangan, negara mengorbankan lebih dari 3000 jiwa.

TANAH UNTUK KAPITALIS PERKEBUNAN

Van Den Bosch (1830) masuk sebagai Gubernur Jenderal menggantikan komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies (1826-1830) menghapuskan system sewa tanah pada negara yang dirintis Raffles dengan memperkenalkan unsure-unsur paksaan dalam bercocok tanam. Politik Belanda tetap mereka jalankan dengan mempertahankan kapitalisme kolonial yang primitif. Bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas perlawanan-perlawanan rakyat di Nusantara, diantaranya perang Diponegoro (1825-1830) dan perang pemisahan Belgia.

Daerah-daerah yang tidak terkena tanam paksa, yang disebut daerah Vorstenlanden dikawasan Yogyakarta, Surakarta dan Kedu, kemudian dijual oleh raja-raja setempat ke Belanda untuk dijadikan perkebunan tebu dan tembakau demi menopang kebutuhan suplai pabrik-pabrik gula yang baru tumbuh.