Jumat, 11 November 2011

PAPUA: NEGARA, NASIONALISME & KAPITAL MULTINASIONAL



Tulisan lama, tapi masih ada beberapa hal yang relevan dengan kondisi hari ini. Pernah dimuat di Jurnal Affinitas. Ditulis oleh Tjuan.

Semenjak berakhirnya pendudukan kolonial Hindia Belanda di tahun 1949, Papua (dalam teritori Indonesia saat ini menjadi dua provinsi, Papua Barat/Irian Barat dan Irian dan Papua) menjadi wilayah tarik menarik pengaruh antara rezim nasionalisme ekspansionis Sukarno dan Amerika di awal era perang dingin, yang disusul oleh pendudukan rezim brutal Suharto yang merupakan sekutu kepentingan ekonomi dan politik Amerika. Di luar kedua pihak tersebut, beberapa negara lain (Australia, Uni Sovyet, Belanda, Inggris) dan PBB juga memberikan pengaruhnya untuk menentukan nasib wilayah dan masyarakat Papua.

Dengan dibentuknya Komisi PBB untuk Indonesia pada tahun 1949, dan diselenggarakannya Konfrensi Meja Bundar, pergolakan untuk mendominanasi Papua telah dimulai oleh Indonesia. Sepanjang dekade 1950-1960, terjadi negosiasi diantara rezim kolonial Belanda dan negara pasca kolonial, Indonesia, yang merupakan rezim Jawa yang tersentralis. Rezim kapitalis Blok Barat Australia, Belanda dan Inggris juga mulai mempengaruhi konflik dominasi terhadap Papua, yang ingin menghadang pengaruh rezim Sukarno yang terpengaruh oleh rezim Bolshevik Uni Soviet, kekuatan internasional tersentralis yang membangun satelit-satelit kekuatan politik sosialisme otoritarian di berbagai wilayah di dunia, terutama di wilayah-wilayah bekas kolonialisme.

Sejak 1957, rezim Sukarno Indonesia, memulai serangakaian kampanye agresif dan aksi militer untuk mengkonsolidasi klaim kekuasaan teritori Indonesia pada wilayah Papua. Pada puncak ambisi ekspansionisnya, dari 1961-1963, rezim Sukarno membelanjakan sekitar US$2 trilyun (sekitar setengah dari anggaran negara) untuk peralataan militer. Uni Soviet, merupakan pendukung utama persenjataan dalam operasi ekspansionisme Sukarno di Papua, dengan kepentingannya untuk membangun satelit-satelit sosialis otoritarian.
Ekspansionisme Sukarno yang didukung oleh rezim Bolshevik Uni Soviet, merupakan perintis dominasi Papua pasca kolonialisme Indonesia, yang selanjutnya pada era awal Perang Dingin mulai mendapat tantangannya dari rezim kapitalis barat.

Amerika memulai keterlibatan aktifnya dalam isu Papua pada era pemerintahan Kennedy (1961). Di tahun 1962, Amerika menginisiasikan solusi diplomatis untuk menengahi konflik Indonesia dan Belanda dalam isu Papua yang menghasilkan Resolusi PBB Nomor 1752 (dikenal sebagai Perjanjian New York), dimana bagian terpentingnya adalah ketetapan mengenai Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) bagi rakyat Papua. “Penentuan pendapat” yang dilaksanakan pada tahun 1969 mengawali represifitas rezim Orde Baru/Suharto dan kapital internasional (khususnya Amerika) sampai jatuhnya rezim tersebut hingga sekarang; yang dalam rentang hampir empat dekade menerapkan kekerasan dan perampasan dalam skala yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bahkan genosida (Lowenstein, 2003).

Perjanjian Rahasia Roma, tepat seminggu setelah ditetapkannya Perjanjian New York, memuat beberapa butir keputusan - yang paling utama adalah tentang kemungkinan membatalkan atau menunda PAPERA; Perjanjian tersebut juga memfasilitasi masuknya kapital melalui butir-butir yang “mewajibkan” Amerika untuk: menanam modal melalui badan usaha di Indonesia dalam bidang eksplorasi mineral dan sumber daya alam; menjamin pinjaman Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun; menjamin Indonesia melalui Bank Dunia dengan sejumlah dana bagi pelaksanaan Transmigrasi dalam rangka penempatan orang-orang Indonesia di Papua, terhitung sejak tahun 1977.

Di tahun akhir 1965, selang dua bulan setelah kudeta berdarah September, perusahaan tambang Amerika, Freeport McMoran menjajaki invetasi tambang tembaga di Papua. Selang dua tahun, pemerintah Indonesia melengkapi infrastruktur legalnya sebagai wilayah untuk perkembangan kapital dan mengintegrasikan Indonesia ke dalam kepentingan-kepentingan blok kapitalis internasional dengan mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing.

PAPERA kemudian dilaksanakan pada tahun 1969, tapi hanya dengan melibatkan sekitar atau bahkan kurang dari 1% populasi Papua yang dipilih oleh pihak Indonesia dan dengan pendekatan kekerasan, digiring untuk memilih berintegrasi dengan Indonesia.

Pengintegrasian Papua ke dalam teritori kekuasaan Indonesia memulai suatu era kelam bagi masyarakat di wilayah itu. Berbagai sumber memperkirakan jumlah orang yang dibunuh dan dihilangkan, berkisar dari ribuan hingga puluhan ribu bahkan ratusan ribuan (The West Papuan Case -Human Rights Abuses di
situs Free West Papua; Lowenstein, 2003).

Rezim militeristik Orde Baru yang tidak bisa dipungkiri masih utuh hingga saat ini, melancarakan operasi militer, pengontrolan militeristik terhadap populasi Papua dan meminggirkannya secara ekonomi, politik dan sosial - yang hampir seluruhnya terjalin erat dengan kepentingan modal multinasional dan dengan dukungan diplomatis, modal dan militer dari negara-negara blok kapitalis barat. Pembunuhan ekstrayudisial, penyiksaan fisik, pemerkosaan, teror mental, diskriminasi rasial, penghinaan terhdap kultur Papua terjadi seiring dengan perampasan lahan dan sumber-sumber daya alam dan perusakan lingkungan dan sumber-sumber mata pencarian.

Kekerasan Negara, Negara Nasion dan Kapital Multinasional
Seperti yang dikatakan oleh seorang diplomat Indonesia bahwa Papua Barat baginya adalah ‘sesuatu yang harus dipertahankan bahkan dengan mengorbankan nyawanya’. Pada realitanya, Papua Barat telah menjadi ‘sesuatu yang harus dikorbankan olehnya’.
Jason MacLeod
Tidak dapat dipungkiri bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah membebaskan masyarakat yang terjajah oleh rezim kolonial. Namun, sifat progresif dari perjuangan kemerdekaan nasional hanya terjadi dalam konfliknya vis a vis rezim kolonial dan setelah itu kekuatan negara nasion menjadi kekuasaan-kekuasaan yang mengendalikan dan merepresi populasi di dalam teritorinya. Negara-negara pasca kolonial di Asia, Afrika, Amerika tengah dan selatan, seperti Indonesia, hampir semuanya berkembang menjadi rezim-rezim despotik dan super korup. Visi-visi tentang negara nasion yang akan menciptakan kebebasan dan masyarakat egaliter di wilayah-wilayah pasca kolonial hanya menjadi ilusi-ilusi, seiring dengan pemapanan negara nasion, yang pada intinya adalah pemapanan kekuasaan segelintir elit (representatif) terhadap mayoritas (populasi yang direpresentasikannya).

Sementara itu, relasi dominan dan subordinat dalam relasi kekuasaan kapitalisme global berlanjut pasca era kolonialisme. Negara-negara bekas teritori kolonial tetap berperan sebagai wilayah-wilayah subordinat vis a vis negara-negara dominan.

Terbentuknya negara-negara pasca kolonial merupakan perluasan modernisasi kapitalis, setelah sebelumnya kolonialisme mengintegrasikan wilayah-wilayah kolonial dalam jaringan kapitalisme global – dengan menundukan rezim-rezim feodal dan membangun wilayah-wilayah tersebut sebagai penyangga sektor-sektor industri ekstraktif dan agrikultur.

Hubungan dominan-subordinat dalam relasi kekuasaan global yang sempat diinterupsi oleh perjuangan-perjuangan melawan kolonialisme, kembali pada titik keseimbangnnya. Pasca perjuangan kemerdekaan nasional, institusi dan aparatus negara nasion pasca kolonial menjadi fasilitator bagi aktor-aktor kapital dari negara-negara dominan untuk mengakses teritori, sumber daya dan populasi di wilayah-wilayah tersebut. Negara nasion pasca kolonial menjalankan fungsinya sebagai fasilitator modernisasi kapital, khususnya dalam era developmentalisme, dimana terjadi perluasan infrastruktur untuk kegiatan-kegiatan industrial, intensifikasi ekstraksi sumber daya alam, pendisiplinan populasi menjadi sumber daya manusia dan perkembangan pasar bagi komoditi.

Negara nasion Indonesia, melalui represi fisik dan mental terhadap populasi di dalam teritorinya, menjalankan perannya dalam menciptakan iklim investasi bagi kapital multinasional, terutama sejak naiknya rezim militieristik Orde Baru. Penciptaan iklim investasi yang diawali dengan pengorbanan jutaan jiwa, selanjutnya dimapankan dengan berkuasanya rezim Orde Baru. UU Penanaman Modal Asing diberlakukan dua tahun setelah pembantaian September 1965, sebagi kerangka legal yang menjamin keamanan investasi dan pemberian konsesi-konsesi pada kapital multinasional. Negara nasion ini menjalankan peran subordinatnya, untuk memfasilitasi kapital multinasinal, sebagai penjaga kapital dan mediasi antara kapital dan populasi lokal.

Negara Nasion Indonesia dan kapital multinasional membangun jalinan ekplotasi brutal terhadap populasi dan lingkungan di wilayah Papua. Kapital multinasional yang melakukan investasinya di wilayah yang begitu kaya akan sumber daya alam ini, menempatkan negara Indonesia pada peran pendisplin populasi yang bergejolak.

Operasi militer di Tanah Papua dimulai secara de facto pada waktu bermulanya pendudukan Indonesia atas Papua pada tahun 1963 dan berlaku makin represif ketika secara de jure Papua menjadi DOM yang paling lama di Indonesia, selama 20 tahun dari 1978 hingga tanggal 5 Oktober 1998 (20 tahun). Sementara itu, “peresmian” aneksasi Papua melalui PAPERA merupakan proses yang diatur oleh kekerasan negara (berlangsung dua tahun setelah Freeport McMoRan, kapital multinasional terbesar di Papua beroperasi). PAPERA, menurut beberapa diplomat, merupakan proses jajak pendapat yang dipenuhi oleh ancaman kekerasan dan pembunuhan bagi wakil-wakil yang memilih opsi kemerdekaan untuk Papua (J. Saltford, 2003).

Di Papua, militer mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam ekstraksi sumber daya alam, melalui keterlibaan langsungnya dalam industri kayu, perikanan dan pertambangan serta dana-dana dari industri ekstraksi yang dibayarkan sebagai uang pengamanan.

Benih-benih konflik antara kepentingan negara dan modal dan hak-hak hidup masyarakat indigeneous Amungme di Tembagapura dan Komora di Mimika, berawal pada tahun 1967, ketika PT Freeport Indonesia (PTFI), yang merupakan joint venture antara Freeport McMoRan dan Rio Tinto, menandatangani Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia. Kontrak Karya yang disusun oleh PTFI memberikan korporasi tersebut lingkup kekuasaan yang besar terhadap masyarakat indigenous dan sumber daya alam - yang termasuk kekuasaan untuk mengakses tanah dan merelokasi masyarakat, sekaligus penghilangan akses masyarakat indigenous untuk menuntut atau menolak beragam kegiatan dan pengambil alihan dalam operasi PTFI.

Selama beberapa dekade, operasi pertambangan PTFI di Papua tidak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan militer Indonesia. Hubungan modal dan institusi dan aparatus kekerasan tersebut telah menimbulkan banyak korban dalam konflik-konflik antara kepentingan masyarakat dan korporasi.

PTFI telah memberikan beragam fasilitas,logistik, akses pada infrastruktur PTFI dan pembayaran finansial kepada militer Indonesia. Sebuah laporan yang dipresentasikan dalam Konfrensi Internasional Tentara Dalam Bisnis, mencatat pembayaran yang dilakukan PTFI diantaranya berjumlah US$35 juta, selain pembayaran tahunan sebesar US$11 juta. Komisi Hak Asasi Manusia, pada bulan September 1995, menyatakan terjadinya pelanggaran HAM yang jelas dan dapat diidentifikasikan di dalam dan sekitar wilayah operasi PTFI, yang termasuk pembunuhan, penyiksaan, perlakukan yang tidak manusiawi atau merendahkan, penangkapan yang tidak legal, penghilangan orang, penahanan yang tidak sah, pengawasan yang belebihan dan pengrusakan properti – yang secara langsung terkait dengan militer Indonesia yang menjadi pengaman bisnis tambang PTFI.

Kekerasan negara atau yang difasilitasi oleh negara dan yang melibatkan kapital multinasional, juga meliputi salah satu sektor industri terbesar di Papua, yaitu, industri kayu dan kertas. Pengambil alihan lahan masyarakat kerap terjadi di Papua oleh investasi-investasi di sektor tersebut. Pada tahun 1982, beberapa koran melaporakan kerja dengan upah rendah yang diterapkan pada masyarakat Asmat oleh industri kayu dengan melibatkan aparat desa. Militer Indonesia di Tiga Danau juga dilaporakan terlibat dalam skema-skema kerja paksa dalam ektraksi kayu. Menurut aktivis dari TELAPAK, militer di Papua dinilai sebagai salah satu pihak kunci yang terlibat dalam ektraksi kayu ilegal di wilayah itu (Environment News Service, Febuari 2005).

Semenjak jatuhnya rezim Suharto dan melemahnya Orde Baru, pengamanan terhadap modal oleh militer telah mengalami perubahan pola, dimana militer mengurangi keterlibatannya secara langsung untuk kemudian melibatkan taktik pembangunan milisi-milisi sipil untuk meredam potensi-potensi konflik terhadap kepentingan modal.

Di beberapa wilayah, seperti di Sorong dan Fak fak, Laskar Jihad dan milisi nasionalis digunakan untuk mengacaukan situasi dalam rangka mendiskreditkan resistensi yang diorganisir oleh masyarakat terhadap penguasa dan modal.

Skema rekayasa konflik yang diterapkan militer mengambil pola yang diterapkannya di Timor Leste. Milisi-milisi dibentuk untuk meningkatkan intensitas konflik yang bertujuan sebagai pembenaran untuk melakukan agresi terhadap gerakan resistensi dan membersihkannya. Kemunculan kelompok-kelompok milisi Merah Putih di Papua dan peran Kolonel Burhanuddin Siagian, (tertuduh sebagai aktor dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Leste pada panel khusus di Dili) sebagai Komandan KOREM 172 Papua, mengindikasikan kemungkinan terulangnya pola-pola pembersihan seperti di Timor Leste.

Rekayasa konflik ini juga digunakan untuk mempertajam sentimen nasionalisme Indonesia, dan memberikan stigma kepada segala bentuk resistensi sebagai anti Indonesia. Sentimen nasionalis tersebut digunakan untuk melegitimasi tindakan-tindakan militer di mata publik Indonesia. Selain itu, penggunaan kelompok-kelompok milisi juga bertuj;uan untuk menghindari sorotan pelanggaran HAM secara langsung pada militer Indonesia.

Genosida?: Kekerasan Negara & Rasialisme

Nasionalisme Indonesia, seperti nasionalisme di bekas wilayah-wilayah kolonial, mendasari klaim teritorialnya pada teritori pemerintahan kolonial yang berkuasa sebelum kemerdekaan nasional. Anggapan bahwa segalanya yang merupakan peninggalan dominasi pemerintahan kolonial Hindia Belanda harus kemudian menjadi dominasi kedaulatan nasional Indonesia,merupakan konsepsi teritorial Indonesia.

Nasion, meminjam istilah Benedict Anderson adalah konsepsi tentang “komunitas yang dibayangkan”, dimana anggota sebuah nasion membentuk komunitas tidak melalui interaksi fisik, tapi melalui pembayangan mental tentang kesamaan-kesamaan diantara kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan tersebut. Di sini nasionalisme Indonesia mengangankan kelompok-kelompok masyarakat yang saling membayangkan diri dalam suatu komunitas Indonesia yang mungkin berdasarkan pembayangan kesamaan senasib sepenanggungan selama penjajahan kolonial Belanda. Meskipun seperti kita ketahui bahwa tidak seluruh wilayah yang sekarang merupakan teritori Indonesia mengalami rentang masa penjajahan kolonial yang sama, dimana bahkan sebagian dari wilayah tersebut hampir tidak terjajah.

Konsepsi ala Anderson dipertanyakan: Siapa yang berhak membayangkan nasion? Apakah konsekwensi dari pembayangan yang dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat dari kelompok (etnis) tertentu, tapi dimana pembayangannya tentang nasion mencakup banyak kelompok masyarakat lainnya? Pembayangan tentang Indonesia, pencetusan tentang Indonesia sendiri sebagian besar diartikulasikan oleh segelintir orang dari kelompok etnis Jawa dan Melayu (khususnya merujuk pada populasi di pulau Sumatera dan sekitarnya).

Pendudukan Indonesia di Papua selama lebih dari 40 tahun telah meyingkirkan ratusan ribu penduduk Papua, melalui pembunuhan, penghilangan dan penciptaan kondisi represif yang memaksa orang untuk meninggalkan wilayah asalnya. Bagi sebagian pihak, skala pelanggaran HAM di Papua tersebut, dinilai sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan; bahkan sebagian pihak lagi menilainya sebagai genosida. Berbagai sumber memperkirakan jumlah orang yang dibunuh dan dihilangkan, dalam kisaran ribuan hingga puluhan ribu bahkan ratusan ribuan. Lebih jauh lagi beragam bentuk intervensi pemerintah Indonesia juga telah menimbulkan korban jiwa secara tidak langsung, yang termasuk relokasi penduduk secara paksa, pengrusakan terhadap lahan-lahan yang mensuplai kebutuhan pangan dan dugaan penyebaran penyakit (cysticercosis), atau tidak adanya usaha serius dan memadai dari pemerintah untuk menangani epidemik yang banyak memakan korban jiwa tersebut.

Berbagai kebijakan pemerintah Indoenesia di bidang keamanan, politik dan sosial di Papua bertujuan untuk meminggirkan akses politik dan ekonomi masyarakat Papua dan melenyapkan identitas Papuan, yang menjadi penghalang bagi operasi kekuasaan elit politik dan akses ekonomi aktor-aktor modal multinasional.

Peminggiran akses politik masyarakat Papua dan penghilangan identitas Papuan secara sistematis dilakukan beberapa tahun sebelum diselenggarakannya Penentuan Pendapat Rakyat (PAPERA) pada tahun 1969. Untuk memastikan keberhasilan aneksasi Papua ke dalam teritori Indonesia, sejak tahun 1963, pemerintah Indonesia mulai melakukan intervensi-intervensi untuk menghilangkan identitas Papuan, dengan pelarangan menyanyikan lagu nasional Papua, dan pengibaran bendera Matahari Pagi, melalui dekrit presiden; ketentuan legal yang kemudian diterapkan secara lentur untuk mengait-ngaitkan beragam ekspresi lainnya sebagai subversif.

PAPERA yang diklaim sebagai usaha memfasilitasi masyarakat Papua untuk menentukan pilihannya sendiri, ironisnya tidak melibatkan satu pun elemen masyarakat Papua. Proses PAPERA bahkan tidak memberlakukan sistem satu orang satu suara, dengan alasan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Papua. Di sisi lain, kebijakan rasialis Indonesia dalam PAPERA, juga didukung kondisi politik internasional yang rasis, seperti yang tercermin dari pernyataan seorang diplomat Inggris pada tahun 1968 yang mengatakan:

“Saya tidak bisa membayangkan bahwa pemerintah Amerika, Belanda, Jepang atau Australia mempertaruhkan…hubungan mereka dengan Indonesia atas alasan yang prinsipil hanya untuk orang-orang yang sangat primitif, dalam jumlah yang relatif kecil”.

Salah satu kebijakan rasialis yang memarjinalkan masyarakat Papua adalah program transmigrasi Orde Baru pada pertengahan 1980an, yang diimplementasikan atas prinsip asimilasi – untuk menghilang-lenyapkan etnis Papua dengan memfasilitasi perpindahan orang-orang dari luar (Papua) “yang lebih beradab” ke Papua. Mochtar Kusumaatmadja seorang menteri pada rezim Order Baru mengatakan bahwa transmigrasi mungkin merupakan satu-satunya cara untuk membawa masyarakat zaman batu yang primitif ke dalam arus utama pembangunan Indonesia.

Dalam kebijakan transmigrasinya, pemerintah bukan hanya tidak melakukan konsultasi dengan masyarakat Papua, bahkan mengambil alih lahan-lahan dari para pemilik tradisionalnya dan mengusir paksa penduduk lokal dalam ‘Operasi Sapu Bersih’ (1981). Slogan militer yang terkenal pada saat berlangsungnya operasi tersebut adalah, “Biarkan tikus lari ke hutan, agar ayam ayam bisa berkembang biak di kandangnya”. Lahan-lahan yang diambil alih untuk para transmigran juga banyak yang diperoleh dengan penipuan dan ancaman terhadap pemiliknya (Lowenstein dkk, 2003). Bank Dunia juga telah mengucurkan dananya sebesar US$ 650 juta untuk program transmigrasi pemerintah Indonesia.
.
Selain transmigrasi sebagai salah satu proyek rasialis untuk ‘memperadabkan’ masyarakat Papua, proyek rasialis lainnya adalah Proyek Pembinaan Masyarakat Terasing yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia di Papua. Proyek ini sebagai bagian dari kebijakan rasialis lainnya, secara konsisten ingin menanamkan stigma pada masyarakat Papua, bahwa mereka adalah orang-orang yang inferior.

Kebalikan dari klaim perbaikan kondisi masyarakat, proyek-proyek pemeradaban ini malahan memperburuk kondisi masyarakat Papua. Peradaban yang dibawa oleh pemerintah Indonesia ini menyebabkan hilangnya lahan produktif (yang dirampas), berkembangnya penyakit-penyakit yang sebagian berkembang dalam skala epidemik dan bencana lingkungan (yang mencemari sumber-sumber pangan, yang merusak atau menghancurkan sumber-sumber tersebut) – akibat-akibat yang secara langsung atau tidak langsung berimbas negatif pada survival orang Papua. Buruknya layanan kesehatan pemerintah yang beradab bagi masyarakat ‘tidak beradab’ ini juga memberikan kontribusi dalam memperburuk kondisi masyarakat Papua.

Proyek-proyek pemeradaban tersebut, khususnya transmigrasi, bagi sebagian pihak dipandang sebagai intervensi yang jelas merupakan penciptaan kondisi kehidupan yang diperhitungkan untuk menghancurkan masyarakat Papua. Pemerintah Indonesia tentunya mengetahui bahwa kebijakan-kebijakan pemeradabannya tersebut akan berakibat pada pemusnahan fisik dan kultural masyarakat indegenous Papua.

SWA-ORGANISASI OTONOM DAN INTERVENSI ANARKIS: SEBUAH TEGANGAN DALAM PRAKSIS (BAG. I)

Introduksi : beberapa defenisi dan penjelasannya

Potensi perjuangan pembebasan apa pun yang terjadi di antara mereka yang tereksploitasi dan terampas mestinya berdasarkan pada pengorganisasian diri yang otonom. Sebagai anarkis, yang biasanya berada disekitar mereka yang tereksploitasi, kita memiliki banyak alasan untuk berpartisipasi dalam/dan mendorong bentuk perjuangan semacam ini. Akan tetapi semenjak kita juga memiliki ide-ide spesifik mengenai arah dari perjuangan kita dan tujuan revolusioner yang juga spesifik, bentuk partisipasi kita mengambil bentuk intervensi yang mencoba menggerakkan perjuangan dalam arah yang lebih spesifik. Tak memiliki hasrat untuk menjadi vanguard atau pun pemimpin atau berada dalam suatu permainan politis yang tanpa kegembiraan sama sekali, kita menemukan diri kita sendiri berada dalam suatu ketegangan yang mencoba untuk menghidupkan konsepsi perjuangan dan kebebasan kita dalam konteks realitas yang tak bebas sama sekali, mencoba untuk menghadapi masalah-masalah keseharian yang kita hadapi melalui bentuk penolakan kita untuk bermain menurut aturan dunia ini. Hingga kini, pertanyaan mengenai swa-organisasi yang benar-benar otonom dan bentuk intervensi ala anarkis telah menjadi masalah yang sering dihadapi, menolak untuk jatuh ke dalam jawaban-jawaban mudah serta keyakinan dalam “kemujaraban” pola organisasional. Untuk mulai mengeksplorasi pertanyaan ini mari kita mulai dengan beberapa defenisi dan penjelasan-penjelasan mengenai hal tersebut.

Swa-Organisasi Otonom

Ketika saya berbicara mengenai swa-organisasi, saya berbicara mengenai fenomena spesifik yang cenderung muncul kapan pun orang-orang, yang dibuat marah karena kondisi mereka dan kehilangan keyakinan pada mereka yang didelegasikan untuk bertindak bagi mereka, memutuskan untuk bertindak bagi diri mereka sendiri. Swa-organisasi yang otonom oleh karena itu sama sekali tidak pernah terwujud dalam bentuk partai politik, serikat pekerja atau pun jenis organisasi representatif lainnya. Semua bentuk seperti ini mengklaim diri sebagai representasi dari orang-orang yang sedang berjuang, serta bertindak atas nama mereka. Dan hal yang mendefenisikan swa-organisasi yang otonom sesungguhnya merupakan penolakan atas semua bentuk representasi. Partai-partai serikat buruh dan bentuk organisasi representatif lainnya cenderung berinteraksi dengan organisasi otonom hanya dalam bentuk rekuperator dari suatu perjuangan, berusaha keras untuk mengambilalih kepemimpinan dan mengesankan diri mereka sendiri sebagai juru bicara dari mereka yang sedang berjuang–seringkali dengan tujuan untuk bernegosiasi dengan para penguasa. Dengan cara demikian, mereka hanya dapat dilihat sebagai pengambilalih kekuasaan yang sangat potensial dimana pun pemberontakan nyata dari mereka yang mengorganisir diri sendiri terjadi.

Swa-organisasi otonom memiliki sifat esensial yang mendefenisikannya. Paling pertama adalah non-hirarkis. Tak ada aspek institusional, kepemimpinan permanen, atau pun otoritas di dalamnya.Ketika seseorang terbukti memiliki pengetahuan secara khusus berkenaan dengan persoalan-persoalan spesifik yang berkaitan dengan perjuangan yang sedang dilakukan akan mendapat perhatian yang sepatutnya diterima olehnya atas pengetahuan tersebut, hal ini tak dapat dibiarkan begitu saja menjadi dasar bagi peran kepemimpinan permanen apa pun, sebab hal tersebut dapat merusak sifat/karakter esensial dari pola organisasi-diri yang otonom tersebut, yang terdiri atas : bentuk komunikasi horizontal dan pertalian/hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini merupakan persoalan yang terkait dengan komunikasi satu dengan yang lain, interaksi, pengekspresian keinginan serta hasrat secara terbuka, mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi bersama dan dalam terminologi praksis, tanpa memerlukan kepemimpinan apa pun untuk memenuhi ekspresi ini sesuai jalur-jalur yang ada. Hal tersebut membawa kita pada sifat mendasar lainnya, salah satu yang menjadi hal kontroversial bagi ideologi-ideologi kolektivis, namun itu merupakan satu-satunya jalan untuk menjamin sifat yang pertama : unit yang mendasari swa-organisasi otonom adalah individual. Di lain pihak, hal itu dapat membantah bahwa semua bentuk negara dan dunia bisnis adalah bentuk swa-organisasi yang otonom, sebab dalam level institusional dan kolektif mereka juga mengorganisir diri mereka sendiri, namun individu-individu yang terdiri dari komponen-komponen manusiawi tersebut terdefenisikan oleh institusi semacam ini dan ditempatkan sesuai (atau berdasar pada) kebutuhan-kebutuhan institusional.

Jadi swa-organisasi yang otonom di atas semuanya ialah individu yang mengorganisir perjuangannya sendiri atas kondisi-kondisi yang dipaksakan terhadap dirinya, atau menemukan sumber-sumber yang diperlukan untuk memenangkan perjuangan itu. Tetapi di antara sumber-sumber yang diperlukan itu hal yang tak kalah pentingnya juga ialah relasi/hubungan dengan orang lain, oleh karena itu bentuk swa-organisasi otonom juga berarti praktek-praktek secara kolektif. Namun praktek kolektif tersebut tidaklah berdasarkan pada bentuk penyesuaian masing-masing individual terhadap kebutuhan organisasional yang dipaksakan, tapi lebih kepada pembentukan relasi-relasi yang mutual di antara mereka dimana setiap orang akan menemukan area-area komunalitas di setiap perjuangan dan kebutuhan mereka demi suatu realisasi sepenuhnya dari individu-individu yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya untuk mengklarifikasi point tersebut (dan meng-counter dikotomi keliru yang seringkali timbul di lingkungan revolusioner), siapa pun dapat melihat dalam terminologinya sebagai bentuk perjuangan kelas yang revolusioner. Ketika detail-detail yang berbeda, anti-negara, para kaum revolusioner anti-kapitalis pada umumnya setuju bahwa “tugas revolusioner” dari kelas yang tereksploitasi ialah untuk menghapus kelas itu seperti halnya struktur kelas masyarakat.

Apakah makna dari pernyataan tersebut dan apakah itu terjadi pada rangkaian perjuangan revolusioner ? Hal itu bagi saya justru berarti suatu bentuk penemuan diri sebagai individual dimana hasrat, keinginan, serta mimpi-mimpinya tak memiliki relasi apa pun dengan apa yang ditawarkan oleh kapital, setiap hasrat, keinginan, serta mimpi-mimpi tersebut terpenuhi dalam suatu asosiasi bebas dengan yang lain berdasar pada mutualitas dan affiniti. Ketika, dalam rangkaian perjuangan, yang tereksploitasi mulai menemukan metode-metode mengorganisir aktivitas mereka sendiri secara bersama-sama, proses pengabolisian diri mereka sebagai kelas telah dimulai semenjak mereka telah mulai benar-benar berbicara dan bertindak kepada masing-masing orang sebagai individual-individual. Akhirnya, swa-organisasi otonom itu pun terpraksiskan. Semua itu bukan merupakan usaha dari bentuk organisasi formal apa pun untuk merepresentasikan segala hal. Hal tersebut lebih condong untuk mengajukan elemen-elemen yang diperlukan untuk menyelesaikan beragam tugas dan aktivitas bagi suatu perjuangan tertentu.

Hal ini cenderung akan mengikutsertakan perkembangan dari setiap pola komunikasi, cara untuk mengkoordinasikan bentuk aksi, cara untuk mengumpulkan perangkat yang dibutuhkan dan demikian seterusnya. Berikutnya kita akan melihat selanjutnya, dalam perjuangan skala yang lebih luas, bentuk pertemuan yang bertujuan untuk mendiskusikan hal-hal yang diperlukan, hal ini bukanlah suatu bentuk struktur yang terformalkan, namun merupakan metode-metode spesifik guna menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi.

Intervensi Anarkis

Para anarkis dan juga kita seringkali berada di antara/atau menjadi yang tereksploitasi. Dengan demikian, kita memiliki kebutuhan yang sangat mendesak untuk berjuang melawan tatanan sosial ini. Pada saat yang sama, kita menghadapi perjuangan keseharian tersebut dengan kesadaran perspektif revolusioner dan disertai pula oleh ide-ide spesifik mengenai bagaimana untuk mewujudkan perjuangan tersebut. Oleh karena itu, tak bisa dihindari lagi bahwa bentuk partisipasi kita sebagai para anarkis akan mengambil suatu bentuk intervensi. Maka adalah hal yang berguna untuk mencoba mempertimbangkan mengenai apa yang menjadikan partisipasi kita sebagai bentuk intervensi.

Paling pertama, sebagai para anarkis, kita muncul dalam setiap perjuangan dengan perspektif revolusioner yang berkesadaran. Apa pun bentuk spesifik yang memprovokasi munculnya suatu pemberontakan, kita mengenalinya sebagai aspek dari suatu tatanan sosial yang mesti dihancurkan dengan tujuan untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi suatu eksistensi yang bebas serta memutuskan sendiri apa yang mereka kehendaki (self-determined). Perjuangan dan pemberontakan secara umum terprovokasi oleh keadaan-keadaan tertentu, bukan oleh pengakuan massa atas keinginan untuk menghancurkan negara, kapital, dan semua institusi yang membawa segala bentuk dominasi dan eksploitasi. Intervensi Anarkis, oleh karena itu, berusaha untuk memperluas perjuangan melampaui segala batasan yang mungkin menjadi penyebabnya, untuk menegaskan, tidak hanya di dalam perkataan, tapi melalui aksi yang dapat menghubungkan masalah-masalah spesifik yang dihadapi dengan realitas secara luas dari tatanan sosial yang ada di sekitar kita. Hal ini akan disertai oleh penemuan dan membongkar komponen-komponen yang sama di antara beragam perjuangan dan demikian juga dengan perbedaan yang dapat meningkatkan kualitas dari bentuk pemberontakan yang lebih luas.

Karena kita para anarkis yang muncul di setiap bentuk perjuangan apa pun dengan perspektif revolusioner yang spesifik, Adalah tugas dan keinginan kita untuk mengajukan suatu metodologi perjuangan yang menyertakan perspektif ini di dalamnya, suatu metodologi prinsipil yang menyediakan basis/dasar bagi keterlibatan kita di segala bentuk perjuangan. Metodologi yang saya bicarakan di sini adalah bukan hanya suatu metodologi perjuangan, namun sesuatu yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sejauh mungkin. Pertama, suatu perjuangan mesti benar-benar dijauhkan dari segala bentuk organisasi representatif. Kita perlu mengenali serikat buruh dan partai-partai sebagai pengambilalih kekuasaan dan mulai untuk menentukan aktifitas spesifik kita di setiap perjuangan kita sendiri, tanpa perlu memperdulikan tuntutan-tuntutan dari partai-partai tersebut. Kedua, praktek-praktek kita memerlukan aksi-aksi langsung yang sesungguhnya–mencermati bagaimana cara untuk menyelesaikan tugas-tugas spesifik yang mewakili keberadaan kita, dan bukannya menuntut otoritas atau pun sesuatu yang “representatif” untuk berjuang bagi diri kita. Ketiga, kita perlu untuk tetap terlibat dalam konflik permanen dengan tatanan sosial yang kita lawan dengan mempertimbangkan hal-hal yang spesifik, terus memelihara setiap serangan kita dengan tujuan untuk memperjelas bahwa kita sama sekali tak memiliki tujuan untuk terekuperasi. Keempat, kita perlu untuk melakukan serangan, serta menolak untuk bernegosiasi atau pun berkompromi dengan mereka yang berkuasa. Metodologi seperti ini turut disertai oleh prinsip swa-organisasi dan keinginan revolusioner untuk menghancurkan tatanan kekuasaan saat ini.

Karena sifat alamiah dari aspirasi anarkis yang kita miliki tersebut, maka intervensi kita dalam akan selalu mengekspresikan dirinya sebagai tekanan di beberapa level tertentu. Hal yang paling pertama, seperti yang saya katakan, sebagian besar dari kita (para anarkis) juga merupakan bagian dari mereka yang tereksploitasi dan yang terampas hak-haknya dalam tatanan sosial saat ini, dan bukan menjadi bagian dari kelas penguasa atau pun kelas pengatur. Dengan demikian, kita menghadapi suatu realitas yang sangat dekat dengan mereka yang ada di sekitar kita, dengan hasrat yang sama untuk suatu relief yang sama pula. Akan tetapi kita juga memiliki hasrat untuk suatu tatanan dunia yang baru dan hendak membawa hasrat ini ke dalam setiap perjuangan kita, bukan hanya sekedar kata-kata saja, namun dalam setiap bentuk praksis yang kita lakukan.

Jadi, terdapat tekanan di dalamnya yang dengan sadar bergerak melalui otonomi dan kebebasan di bawah kondisi-kondisi yang menyesakkan/menindas. Di samping itu, kita memiliki cara-cara spesifik yang kita hendaki akan menyertai setiap perjuangan dan perjalanan kehidupan kita. Metode sperti ini adalah berdasarkan pada relasi-relasi/pertalian yang horizontal dan juga bentuk penolakan atas hirarki dan vanguardisme/kepeloporan. Dengan demikian ada semacam tekanan/tensi yang berusaha keras untuk menemukan jalan guna mengedepankan konsepsi-konsepsi yang kita miliki tentang bagaimana melakukan perjuangan yang mampu mendorong berbagai tendensi-tendensi yang eksis melalui swa-organisasi dan aksi langsung yang takkan berakhir menjadi metode-metode evangelisme politis. Kita, karena itu, mencari cara untuk menghubungkan para kamerad dan accomplices, bukan pemimpin. Dan kemudian terdapat tekanan yang menginginkan untuk segera bertindak melawan tekanan dari orang-orang ini terhadap hidup kita, bagaimana pun juga, tingkat perjuangan saat ini untuk sementara ini dapat menghindarkan tendensi vanguardisme mana pun.
Dalam beberapa hal, intervensi anarkis merupakan tali penyelamat antara menghidupkan setiap perjuangan dalam kehidupan kita sehari-hari dan menemukan jalan untuk menghubungkan perjuangan ini dengan perjuangan dari mereka yang tereksploitasi, yaitu orang-orang yang sama sekali belum menyadari perspektif yang kita miliki, suatu koneksi yang sangat diperlukan jika kita ingin mengarah pada suatu bentuk insureksi sosial dan revolusi. Kekeliruan dalam satu arah akan mengembalikan perjuangan kita berbalik ke kondisi semula, mentransformasikannya ke dalam hedonisme radikal individu yang tak memiliki relevansi sosial apa pun. Suatu kesalahan di arah yang lain akan menjadikan perjuangan kita hanya sekedar bentuk persaingan ala partai politik (apa pun nama yang diberikan untuk menyembunyikan kenyataan ini) untuk mengontrol perjuangan sosial. Itulah sebabnya mengapa kita perlu untuk mengingat bahwa kita pada dasarnya sama sekali tidak mencari pengikut atau pun penganut, namun kaki tangan dalam suatu kejahatan kebebasan.
Intervensi anarkis dapat terwujud di bawah dua kondisi tertentu : dimana perjuangan yang terorganisir-sendiri dari mereka yang tereksploitasi sedang berjalan/mengalir, atau dimana situasi tertentu/spesifik membutuhkan respon yang cepat dan usaha keras para anarkis untuk mendorong metode-metode swa-organisasi. Contoh dari situasi yang pertama seperti pemogokan yang dilakukan oleh gerakan wildcat dalam bagian dimana para anarkis dapat mengekspresikan solidaritas, mendorong tersebar luasnya pemogokan, menyingkap penghianatan oleh serikat, memberikan kritik yang lebih luas mengenai serikat sebagai insitusi dan berbagi visi mengenai perbedaan cara pandang mengenai dunia dan kehidupan dibanding sekedar bekerja untuk menjaga kelangsungan bertahan hidup pada level-level tertentu. Kita akan melihat jenis dari contoh-contoh yang lain dibawah ini. Jenis intervensi yang kedua seperti dalam pembangunan pangkalan nuklir di sebuah area dimana seseorang atau polisi membunuh orang-orang miskin dan minoritas. Hal itu segera membutuhkan respon yang cepat, dan dalam menghadapi situasi-situasi semacam ini para anarkis akan memilih untuk menjaga dan mendorong respon-respon otonom dengan menggunakan aksi langsung ketimbang membuat tuntutan-tuntutan terhadap mereka yang berkuasa. Cara yang tepat yang mana para anarkis dapat mengintervensi -tangan dalam situasi semacam ini akan sangat bergantung pada kondisi yang ada. Namun titik penekanannya adalah selalu pada mendorong kecenderungan menuju otonomi, swa-organisasi, dan aksi langsung daripada menekan perspektif politik.

Beberapa peristiwa sejarah dan situasi saat ini

Untungnya, sejak kehidupan yang tercuri dari mereka sering mencapai level kemarahan pada kondisi serta rasa tidak percaya pada aturan2 dan pada mereka yang mengklaim merepresentasikan mereka yang tereksploitasi, tidaklah sulit untuk menemukan contoh-contoh mengenai praktek swa-organisasi otonom. Dalam beberapa kondisi, kita juga dapat menemukan beberapa contoh-contoh intervensi melalui para revolusioner anti-politik ( meskipun tidak melulu para anarkis) dalam perjuangan ini. Sebagai tambahan, saya telah menemukan satu contoh mengenai intervensi anarkis dalam merespon situasi-situasi yang spesifik, dimana mereka berperan untuk mendorong swa-organisasi, aksi langsung melawan pangkalan instalasi nuklir di Sicily. Mari kita lihat beberapa contohnya.

Italia tahun 1970-an

Selama tahun 1970-an, italia mendapatkan pengalaman yang massif mengenai gerakan sosial yang juga menyertakan para pekerja, pelajar, kaum miskin dan kaum muda yang tereksploitasi, dengan wanita yang berperan penting dalam aktifitas tersebut. Salah satu karakteristik yang paling menonjol dari gerakan ini boleh dikata otonom dari organisasi yang biasanya yang mengklaim merepresentasi/mewakili gerakan dari mereka yang tereksploitasi. Tak juga serikat buruh atau pun partai-partai yang mampu menggiring pergerakan dan kecurigaan dari organisasi-organisasi ini sedemikian tinggi dan makin membesar semencolok usaha yang dilakukan oleh partai-partai dan serikat buruh dalam merekuperasi atau mendiskrediktkan perjuangan-perjuangan yang menunjukkan sifat mereka yang paling mendasar.

Rangkaian perjuangan-perjuangan ini, berbagai macam bentuk pemogokan wildcat yang berbeda bentuk, demonstrasi yang massif, sabotase, masifnya pendudukan bangunan dan ruang-ruang publik yang lain, pertempuran jalanan dengan para polisi dan para fasis dan sejumlah besar bentuk-bentuk lain dari aksi langsung telah mengambil tempat di sepanjang negeri. Berkaitan dengan hal itu, perjuangan bersenjata mulai terbentuk dalam beragam bentuk yang berbeda, seringkali kurang spektakuler dan terspesialisasi dalam kelompok-kelompok seperti Red Brigades. Guna mengkomunikasikan realitas dari perjuangan ini dengan yang lain dan mengkoordinasikan beragam aktivitas, dewan-dewan mulai terbentuk secara spontan di berbagai pabrik, Universitas yang diduduki serta di lingkungan pemukiman. Diskusi-diskusi dan debat yang penuh semangat telah memunculkan pertanyaan-pertanyaan terhadap kondisi mendasar masyarakat saat ini dan bagaimana melakukan perlawanan terhadap hal tersebut dalam tingkat level tertinggi, termasuk mempertanyakan kerja dan tidak hanya dalam wilayah spesifik seperti kondisi kerja, pernikahan dan keluarga sebagai sumber dari penindasan gender dan relasi umur, dari aparatus teknologis dan sifat alamiah dari produksi dan demikian seterusnya.

Tentu saja, terdapat sekian banyak anarkis dan para kaum revolusioner anti-politik lain yang juga turut terlibat dalam pergerakan ini. Intervensi mereka turut mengambil bentuk yang mungkin akan saya sebutkan beberapa. Terdapat banyak sekali publikasi-publikasi yang menyebarluaskan analisa-analisa anarkis dan anti-politik mengenai rangkaian insureksi tersebut. Sejumlah besar stasiun radio pembajak mulai eksis dan sangat menolong dalam meningkatkan penyebarluasan informasi mengenai perjuangan spesifik dalam wilayah di mana mereka berlokasi. Terkait dengan hal tersebut, banyak para anarkis (dan juga yang lain) secara bersama dalam kelompok affiniti melakukan serangan-serangan spesifik dan aksi-aksi sabotase yang berhubungan dengan aspek-aspek spesifik dari perjuangan yang sedang berlangsung tersebut. Banyak dari kelompok-kelompok ini muncul secara temporer dengan tujuan untuk melengkapi aksi yang lebih spesifik. Salah satu kelompok bersenjata yang spesifik, Azione Rivoluzionaria (AR) juga turut menumbuhkan perspektif anti-politik, anti otoritarian, dan anti kapitalis.

Saat membaca teks-teks teoritis dan communiques, semakin jelas bahwa kelompok tersebut secara luas terinspirasi oleh Vaneigem. Untuk semua kepentingan praktis, adalah federasi informal dari kelompok affniti yang melakukan beragam serangan bersenjata terhadap institusi kekuasaan. Tidak seperti Stalinis Red Brigades, yang sangat jelas berniat untuk menjadi partai bersenjata yang akan menggiring para proletariat menuju kemenangan, AR hanya memandang keberadaan mereka sebagai sebuah langkah maju dari generalisasi perjuangan bersenjata. Meskipun demikian, perjuangan bersenjata tersebut melakukan serangannya dalam cara yang memungkinkan untuk ter-spektakuler-kan dan terpisah dari perjuangan yang lebih luas, cara demikian dalam tataran praktis telah menjadi bagian yang sangat spesial dalam satu perangkat khusus suatu perjuangan.

Perjuangan insurgen pada tahun 1970-an di Italia telah berkembang sangat maju. Tentu saja banyak revolusi yang berhasil diketahui/tercium (termasuk oleh, sangat disayangkan, otoritas). Adalah hal yang tak mungkin untuk mengetahui hal yang lebih luas dari aktivitas spesifik para anarkis atau revolusiner anti-politik lain yang telah mempengaruhi arah dari suatu pemberontakan besar, namun banyak dari bentuk intervensi (mulai dari radio untuk melakukan sabotase hingga yang lebih dari itu) terbukti sangat berguna. Dan dalam cara dimana banyak dari perjuangan otonom–khususnya aksi-aksi yang berskala kecil–yang terorganisir mengingatkan pada ide-ide dan praktek para anarkis yang dipengaruhi oleh ide-ide Galleani. Jika kelompok-kelompok seperti Azione Rivoluzionaria jatuh ke dalam peranan yang lebih spesifik, maka hal itu akan menumpulkan kegunaan dari aktivitas yang mereka lakukan, banyak di antaranya yang tidak, dan di dalalamnya terdapat suatu kapasitas bagi kritik yang sangat serius di tengah perjuangan yang memungkinkan kita untuk belajar dari peristiwa-peristiwa tersebut.

Pada akhirnya, kerasnya represi negara yang dikombinasi dengan ditaburkannya benih kesalahpahaman di antara pemberontakan tersebut telah membawa pada kenyataan hilangnya pergerakan semacam ini. Ketika negara menghantam, pergerakan itu tidak dalam kondisi yang siap untuk mempertahankan diri. Meskipun isyarat dari kemungkinan untuk memperluas perjuangan bersenjata masih ada (individu-individu yang tidak menjadi bagian dari kelompok bersenjata manapun mulai perlahan mempersenjatai diri mereka untuk tujuan mempertahankan diri), kombinasi dari berbagai pernyataan yang berasal dari kelompok-kelompok kiri tertentu mengatakan bahwa waktunya belumlah matang untuk melakukan konflik bersenjata yang dikombinasikan dengan spektakulerisasi yang dilakukan oleh media terhadap kelompok-kelompok bersenjata tertentu guna mencegah munculnya kejelasan dari pertanyaan ini. Meskipun demikian, uraian yang sangat penting dari analisa para anarkis mengenai keadaan saat ini telah muncul guna menyelesaikan berbagai pertanyaan tentang bagaimana suatu perjuangan bersenjata itu dibentuk, terkait bentuk intervensi para anarkis, perjuangan bersenjata dan seterusnya. Dan masalah yang sangat besar terkait eksperimentasi dan bentuk eksplorasi melalui jalur-jalur semacam ini yang terus berlanjut di Italia hingga saat ini

Spanyol pada tahun 1976-1979

Pada Desember tahun 1975, Franco, yang telah menjadi rezim diktator di Spanyol selama lebih dari 35 tahun, meninggal dunia. Saat rezim yang baru mencoba untuk mengembalikan tatanan ke dalam bentuk negara demokratik, gerakan wildcat menggebrak kemungkinan yang terbuka bagi tatanan masyarakat yang baru dimana negara dan para majikan tak akan memperoleh tempat sama sekali. Pergerakan wildcat tersebut berhasil merefleksikan beberapa aspek di masa itu, yang antara lain adalah : terbukanya kesempatan yang muncul seiring dengan kejatuhan rezim Franco, dalam merestrukturisasi kapital Spanyol yang sangat diinginkan oleh kelas penguasa dengan mengorbankan para pekerja, menyerahnya serikat buruh dan berbagai partai kiri dalam menuntut kelas penguasa dalam harapan akan adanya suatu proses legislasi, kesiapan dari mereka yang selama ini terseksploitasi untuk meraih kesempatan yang ada untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Perjuangan itu menyebar di sejumlah besar kota yang ada di Spanyol. Para pekerja memblokade jalan-jalan, menyebarkan berita mengenai pemogokan tersebut ke tempat-tempat lain, menyusun barikade-barikade, bertempur melawan para polisi dan menduduki pabrik-pabrik dan ruang-ruang publik lainnya. Berbagai aksi dari para pemogok terorganisir melalui pertemuan dewan-dewan pabrik dimana keputusan-keputusan riil dihasilkan dan secara dwi-mingguan melakukan pertemuan dimana hal tersebut diperuntukkan hanya untuk tujuan koordinasi saja. Untuk kepentingan itu, saat pergerakan mulai menyebar, dewan-dewan ketetanggaan juga dibentuk, menyebarkan perjuangan menentang eksploitasi di seluruh wilayah kehidupan harian. Menariknya, hal tersebut menjadi medium penyebaran gerakan dewan-dewan melampaui tembok-tembok pabrik yang juga turut menggiring pada berbagai kritik dan pertanyaan mengenai keberadaan buruh upahan itu sendiri.

Kelemahan terbesar dari pergerakan ini sepertinya terdapat pada sikap tolerannya terhadap serikat buruh dan kooptasi partai di dalam dewan-dewan yang terbentuk. Para pelayan dari berbagai birokrasi oposisional tersebut, tentu saja, selalu mengajak mereka untuk bernegosiasi dan bermoderasi, dan berusaha untuk mengontrol dewan-dewan tersebut. Meskipun mereka seringkali diabaikan, mereka tidak juga keluar dari dewan-dewan yang terbentuk itu dan dalam beberapa insiden, mereka merusak perjuangan tersebut dengan cara merebut dan bernegosiasi dengan para penguasa. Hal ini memainkan peranan besar yang pada akhirnya memboroskan energi pemberontakan tersebut.
Semenjak Spanyol telah memiliki latar belakang sejarah anarkis yang sangat kuat, para anarkis tak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat signifikan di dalam perjuangan ini. Akan tetapi bukan melalui bentuk organisasi-organisasi yang selama ini telah dikenal luas. Organisasi “anarkis” yang sangat diketahui di Spanyol, yaitu CNT, telah membuktikan sekali lagi bahwa adalah serikat buruh, dapat dikatakan, merupakan suatu organisasi yang merepresentasikan perjuangan para pekerja dalam bentuk negosiasi dengan para majikan. Seperti serikat buruh yang lainnya, mereka terus mencari-cari celah legislasi dengan rezim yang baru, yang pada dasarnya juga memainkan peranan sama dengan apa yang mereka lakukan–salah satunya dengan mencoba untuk memanipulasi perjuangan tersebut ke arah moderasi dan kompromi.

Di lain pihak, terdapat juga para revolusioner anti-politik yang terlibat dalam gerakan wildcat ini dengan cara yang sangat bervariasi. Sepanjang waktu tersebut berbagai tulisan-tulisan anonim juga menyebarkan analisa mengenai situasi dari perspektif revolusioner yang sangat tegas dan mengekspos bentuk manipulasi yang dilakukan oleh serikat-serikat buruh dan partai-partai. Salah satu group/kelompok, yang menyebut diri mereka “uncontrollables”, menggunakan istilah menghina bahwa setiap orang yang berasal dari para republikan dan CNTistas adalah sangat bertentangan dengan para revolusioner yang tak mau mematuhi para pemimpin yang berkompromi di tahun 1930-an, menawarkan analisa mengenai situasi yang berlangsung saat itu.

Untuk tujuan tersebut, muncul beberapa “kelompok-kelompok otonom” yang kemudian terlibat aktif dalam pergerakan tersebut. Kelompok-kelompok ini terbentuk dari individu-individu yang berasal dari kelas tereksploitasi dengan analisa revolusioner yang memutuskan untuk berhenti bekerja dan hidup di luar dari hukum yang ada, turut mengambil bagian dalam bentuk perjuangan di titik ini. Praktek yang mereka lakukan dimulai dari kebutuhan dan keinginan mereka sendiri, namun sejak hal ini turut menyertakan solidaritas dengan yang lain, tindakan pengambilalihan yang mereka lakukan, yakni vandalisme dan sabotase akan merefleksikan bentuk keterlibatan ini. Mereka tidak memandang diri mereka sebagai para spesialis mana pun, namun hanya semata-mata sebagai individual yang mengambil pilihan tentang bagaimana mereka akan hidup dan kini dalam pertempuran dengan tatanan sosial ini, serta bertindak berdasarkan pilihan tersebut. Bentuk intervensi mereka begitu tepat dan ditargetkan demikian sebagaimana yang dipahami dalam terminologi rangkaian pergerakan wildcat.

Comiso, Sisily tahun 1982-1983

Pada Desember 1979, Amerika membuat kesepakatan dengan pemerintah Italia utnuk membuat pangkalan peluru kendali di Italia. Perjanjian tersebut dibuat secara rahasia, namun pada musim semi di tahun 1981, berita mengenai hal tersebut mulai bocor. Sebuah airport di dekat kota Comiso di bagian selatan Sicilia telah dipilih sebagai basis guna menyimpan 112 misil nuklir. Dengan Seketika, muncul kemarahan atas hal ini yang jelas mengacaukan hidup dari orang-orang yang ada di area tersebut. Orang-orang mulai mendiskusikan masalah tersebut dan para anarkis turut mengambil bagian dalam diskusi tersebut, mendistribusikan leaflet-leaflet dan menghadiri pertemuan-pertemuan terkait dengan hadirnya pangkalan tersebut.

Biasanya para rekuperator juga muncul dalam situasi tersebut, bersama dengan partai-partai kiri yang membentuk komite perdamaian yang mengarah pada protes-protes simbolik untuk mempengaruhi keputusan para penguasa. Namun para anarkis dan revolusioner yang lain,tertarik pada potensi radikal dari orang-orang yang marah di wilayah tersebut, membentuk kelompok yang cenderung melakukan pendekatan berdasarkan bentuk aksi langsung dan melakukan penyerangan secara langsung.

Ketika komite perdamaian mengorganisir demonstrasi simbolis massif yang menuntut “perdamaian”, Para anarkis dan revolusioner lain dari kelompok yang terorganisir tersebut berdebat tentang bagaimana membangun dan mengkonsentrasikan perjuangan di Comiso dan area-area lain yang sedang menghadapi gangguan yang sama dengan objektif spesifik bagi perjuangan tersebut. Para anarkis dari Catania mengatakan bahwa perjuangan mesti mengambil bagian di basis sosial dan basis revolusioner. Di tahun 1982, terkait dengan berbagai kontradiksi yang tak terpecahkan, kelompok yang terorganisir tersebut memutuskan untuk memecah diri.

Pada bulan April 1982, komite perdamaian mengorganisir barisan perdamaian di Comiso. Barisan tersebut hanyalah barisan damai menyebalkan seperti biasanya, hanya merefleksikan oportunisme dari partai-partai kiri. Oleh karena itu di bulan Mei, para anarkis dari Ragusa dan Catania memutuskan untuk menghalanginya dengan maksud untuk membawa oposisi yang massif ke pangkalan tersebut, dengan tujuan untuk menduduki tempat pangkalan tersebut.
Selama beberapa bulan berikutnya mereka mengadakan rangkaian pertemuan publik dan mendistribusikan literatur-literatur lain terkait dengan topik tersebut. Para wanita anarkis berkunjung dari rumah ke rumah dengan maksud untuk berbicara dengan para wanita di wilayah tersebut yang sangat jarang keluar rumah mengingat masih ekstremnya sifat kultur patriarki di wilayah tersebut. Muncul berbagai respon positif yang berasal dari populasi lokal tersebut, Sehingga para anarkis mengajukan suatu metode guna mengorganisir perjuangan dalam cara yang otonom. Insurgensi Sicilia di masa lalu telah banyak diketahui, dan salah satu bentuk paling umum swa-organisasi yang sering ditempuh adalah liga swa-kelola. Para anarkis merekomendasikan bahwa orang-orang berpikir untuk mengadopsi bentuk semacam ini lagi bagi perjuangan tersebut. Sebuah konfrensi para anarkis yang mengambil tempat pada juli 31/1 Agustus diakhiri dengan pertemuan terbuka lainnya dimana perjuangan dalam menentang pangkalan missil tersebut memiliki keterkaitan dengan penolakan atas militerisme saat salah satu anarkis menghancurkan surat keterangan wajib militernya.

Liga-liga swa-kelola mulai terbentuk dan para anarkis mulai menata kantor untuk berkoordinasi guna menunjang mereka secara teknis dan untuk memfasilitasi komunikasi di antara liga-liga yang ada. Para anarkis terus menerus melangsungkan pertemuan publik dan mendistribusikan leaflet-leaflet. Seiring dengan terbentuknya liga-liga di antara para pekerja, para pelajar, pengangguran dan demikian seterusnya, berbagai aksi, seringkali ditujukan guna mengambil waktu dan ruang yang diperlukan untuk mendiskusikan permasalahan tersebut. Secara khusus, para pelajar tingkat tinggi di Vitoria melakukan pemogokan, memanfaatkan waktu untuk mendiskusikan apa yang akan dilakukan.

Di waktu yang sama efek-efek yang ditimbulkan oleh hadirnya pangkalan tersebut makin bertambah jelas seiring dengan tersingkirnya para petani dari tanah mereka untuk memberi ruang bagi test/latihan jarak jangkauan missil tersebut, sementara para pejabat Amerika dan NATO memesan pelayanan berbagai hotel dan pelayanan yang lainnya dan sementara itu para Mafia* menggunakan intimidasi serta teror untuk mencoba menakuti mereka yang menentang keberadaan pangkalan tersebut. Para anarkis terus menerus berhubungan dengan para pekerja, pengangguran, pelajar dan ibu rumah tangga di area tersebut, namun kekuatan represi bertindak untuk menghalangi aktivitas mereka melalui intimidasi, menyebarkan informasi yang keliru dan demikian seterusnya.

Pendudukan itu sendiri tak pernah terjadi. Saat proyek tersebut mulai melangkah maju sejumlah besar anarkis pun berdatangan ke Comiso, dan sebagian besar dari mereka merasa bahwa pendudukan tersebut terlalu beresiko untuk saat itu. Meskipun demikian, aktivitas yang sedang berlangsung untuk menentang pangkalan selama masa itu telah membawa berbagai ledakan situasi dan tentunya mengindikasikan keterbukaan diri banyak orang terhadap perjuangan bercorak swa-organisasi. Inisiatif tersebut diakhiri dengan demonstrasi besar-besaran yang mengarah ke pangkalan missil tersebut. Polisi melakukan sejumlah kekerasan terhadap para demonstran yang berakhir beberapa jam kemudian. Para polisi, pada kenyataannya, terus mengejar para demonstran hingga satu kilometer. Pangkalan missil tersebut mulai beroperasi di pertengahan tahun 1980-an, namun kemudian berhenti beroperasi di tahun 1992.

Hal yang menarik dari inisiatif ini bukanlah sukses atau kegagalannya, akan tetapi dari usaha yang dilakukannya guna mendorong munculnya pemberontakan dengan pola swa-organisasi untuk menentang keberadaan pangkalan tersebut dan disaat yang bersamaan juga beroposisi dengan protes-protes simbolik yang terus dipromosikan oleh Partai Komunis Italia dan partai-partai kiri lainnya. Pada akhirnya, para anarkis telah menunjukkan suatu koneksi antara munculnya pangkalan missil dan realitas eksploitasi yang terjadi di area pangkalan tersebut–yakni tersingkirnya para petani dari tanah mereka, makin memburuknya situasi ekonomi bagi para pekerja, pengingkaran atas janji-janji pekerjaan sepanjang periode pembangunan pangkalan tersebut, dll. Mereka juga bercermin kembali pada insurgensi yang pernah terjadi di wilayah tersebut di masa lalu, membawa kembali metode-metode swa-organisasi yang terbentuk terkait dengan hal ini. Di balik semua ini, para anarkis hanya membantu untuk menyediakan perangkat yang diperlukan. Apakah mereka berhasil lolos dari bentuk praktek-praktek politisasi saat mereka melakukan hal tersebut…??? Bagi saya mereka berhasil, namun hal ini dapat diperdebatkan lebih lanjut lagi.

Albania 1997

Di tahun 1997, sebuah pemberontakan terjadi di Albania dimana aparatus kekuasaan hampir dijinakkan. Sebagaimana yang sering terjadi, pemberontakan tersebut juga lebih ditandai dengan kedangkalan daripada suatu ideologi besar. Saat mendesak presiden Albania Sali Berisha, sejumlah besar keluarga Albania telah menginvestasikan seluruh tabungan mereka di beberapa perusahaan finansial yang berjanji akan memberikan keuntungan besar. Perusahaan-perusahaan tersebut rupanya mengoperasikan beberapa versi dari skema piramida. Di bulan Januari, perusahaan-perusahaan ini mulai beranjak bangkrut satu demi satu, menghilangkan populasi Albania yang telah dimiskinkan oleh tindakan perusahaan-perusahaan tersebut.

Partai Sosialis mengajak untuk melakukan demonstrasi di pusat kota dengan harapan untuk menjadikan diri mereka sebagai pemimpin gerakan protes damai tersebut. Kemarahan diekspresikan dalam demonstrasi yang memperlihatkan ke semua partai bahwa ledakan ini tak dapat dikontrol sama sekali. Kerasnya aksi demonstrasi tersebut menyebar lebih jauh. Kantor-kantor polisi, pengadilan, dan kantor-kantor kementerian serta partai diserang dengan lemparan batu. Balai-balai kota juga turut dibakar. Perdana menteri yang buruk disandera dan dilukai. Parlemen diserang dan juga terjadi pemberontakan di penjara. Semua kejadian tersebut terjadi dalam dua minggu pertama.

Seiring dengan resistensi yang menyebarkan serangan terhadap struktur-struktur negara dan kapital mulai beranjak meningkat. Orang-orang mulai mempersenjatai diri mereka dengan menyerang kantor-kantor polisi, dengan merampas persenjataan militer (dimana para tentara wajib militer seringkali terlibat di dalamnya) dan melalui berbagai sumber-sumber lainnya. Ketika tuntutan pertama dibuat, serangan-serangan mulai menjadi praktek yang biasa. Gedung-gedung pemerintahan, markas besar partai, markas polisi, bank-bank dan kantor-kantor dinas rahasia seluruhnya menjadi sasaran yang wajar untuk diserang. Saat pemberontakan menyebar luas, maka makin banyak pula orang-orang yang mempersenjatai diri. Mereka dapat menyusun blokade-blokade untuk menghentikan kendaraan-kendaraan yang coba mengendalikan kontrol huru-hara yang bergerak di antara berbagai kota. Para pemberontak tersebut berkeinginan melucuti para polisi (hingga, dapat mempersenjatai diri mereka lebih jauh lagi), menelanjangi mereka dan membakar kendaraan mereka. Bahkan kediaman/residen Berisha diserang dan dibakar. Penjara, sebagaimana penjara pada umumnya, diserang dan para tahanannya dibebaskan. Para insurgen telah menunjukkan secara praktis dalam mengejutkan dan mengambil senjata dari kantor-kantor polisi (dan membebaskan para tahanan dari penjara mereka) sebelum membakar kantor polisi tersebut, hal yang sama juga selalu dilakukan dengan mempersulit operasi polisi dengan mencuri atau menghancurkan perlengkapan polisi.

Setiap orang, baik pria, wanita dan anak-anak mempersenjatai diri mereka untuk melawan para polisi dan militer. Barikade dan blokade dibangun di daerah dimana para insurgen memegang kendali untuk mengantisipasi serangan balik pemerintah. Agen-agen polisi seringkali juga melakukan penculikan atau bahkan membunuh ; personil militer seringkali membangkang dan bergabung dengan para insurgen.

Saat hal tersebut makin menjelaskan bahwa militer Albania tidak dapat mengalahkan para insurgen (terkait dengan banyaknya pembangkangan yang dilakukan oleh tentara/desersi), kekuatan rekuperasi juga mulai bermain. Para pemimpin dari partai-partai oposisi, menyatakan diri mereka sebagai representatif dari para insurgen dan mendeklarasikan sebuah kondisi untuk menyerahkan senjata–suatu kondisi yang semata-mata berarti mengganti pemerintahan yang ada. Tak satu pun dari hal ini, tentu saja, dilakukan berdasarkan permintaan para insurgen.
Di waktu yang sama, para insurgen terus menerus menyerang bangunan-bangunan pemerintah, menjarah toko-toko, mempersenjatai diri dan membangun pertahanan. Banyak dari anggota militer yang membangkang, dan memilih untuk bergabung dengan para insurgen atau melarikan diri ke Yunani. Menyebarnya pemberontakan ini telah memaksa Berisha untuk melakukan rekonsiliasi dengan beberapa partai oposisi dengan tujuan untuk merekuperasi pemberontakan tersebut. Public Health Committees (Komite-komite kesehatan publik), termasuk anggota-angota partai oposisi yang berkeinginan untuk mengontrol dan menjinakkan insurgensi itu, terbentuk di sejumlah kota-kota para insurgen. Ketika mereka menyetujui kesepakatan yang dibuat oleh Berisha dengan partai sosialis, para insurgen tersebut mengabaikan PHC (Public Health Committees) itu, dan membuat keputusan mereka sendiri. Insurgensi tersebut menyebar dengan cepat dan negara-negara yang berbatasan dengan Albania mulai dilanda rasa takut bahwa situasi yang sama juga akan menyebar keluar dari perbatasan negara itu. Di pertengahan Maret, pemerintah, termasuk polisi rahasia, dipaksa untuk mengamankan pusat kota/pemerintahan. Penjarah persenjataan dan barang-barang lainnya makin merajalela, dan kantor dinas rahasia serta Bank Negara mengalami serangan.

Di titik ini EU menjanjikan suatu “intervensi humanitarian” dengan 50 ribu pasukan seperti yang disarankan oleh penasehat teknis guna membantu otoritas Albania untuk menghidupkan kembali fungsi kekuatan polisi dan militer. Untuk saat ini, insurgensi tersebut telah meraih suatu titik dimana menurut pendapat Perdana Menteri Albania,”sama sekali tak ada penjara-penjara yang berfungsi.” Pada akhir Maret, di luar intervensi militer pun telah dimulai. Antara bulan April dan Agustus, kombinasi dari tindakan represi, rekuperasi dan pendudukan militer berhasil mengembalikan tatanan publik. Melalui proses pemilihan di akhir bulan Juni, dapat dikatakan bahwa revolusi yang mengancam tersebut telah berangsur-angsur menghilang dengan kembalinya tatanan politik, dan pada 12 Agustus, kekuatan Multinasional pun meninggalkan Albania.

Bahkan setelah jatuhnya rezim “komunis” Hoxha, Albania bukanlah tempat yang mudah untuk memperoleh informasi, sehingga sangatlah sulit untuk mengetahui secara jelas bagaimana para insurgen mengorganisasikan perjuangan mereka. Hal yang muncul ialah bahwa mereka membentuk dewan-dewan. Di sana pun juga terdapat “konsil-konsil insurgen”, meskipun mereka benar-benar organisasi dari orang-orang tereksploitasi yang otonom, atau organisasi untuk merekuperasi melalui partai-partai oposisional masih belum diketahui. Semenjak banyak orang-orang Albania masih benar-benar merupakan daerah pedesaan, maka sepertinya struktur-struktur lama para petani seolah menawarkan beberapa basis guna menciptakan pengambilan keputusan secara horizontal.

Karena luasnya tingkat kecenderungan ekonomi Italia di Albania, maka tidak mengherankan jika hal itu kemudian memunculkan penindasan internasional terhadap pemberontakan tersebut. Di saat yang sama, para anarkis Italia tetap mencari cara untuk menyelesaikan situasi tersebut dan memetakan cara dalam mengekspresikan bentuk solidaritas dengan para insurgen Albania. Sayangnya, represi yang mereka hadapi bersama dengan investigasi Marini telah berhasil membatasi segala kemungkinan yang ada, khususnya ketika sejumlah anarkis tersebut berhasil dijebloskan ke penjara.

Bolivia tahun 2000-hingga sekarang

Terdapat banyak sekali aktivitas yang seolah tak pernah berhenti di Amerika bagian selatan selama lebih dari beberapa tahun dan Bolivia telah menjadi pusat dari beberapa aktivitas yang sangat menarik. Ada sejumlah alasan yang turut mendorong terjadinya pemberontakan-pemberontakan di Bolivia : Usaha pemerintah untuk menyerahkan kontrol hak atas sumber daya air kepada kekuasaan asing; situasi yang dialami oleh beragam pekerja, kelompok-kelompok pribumi, para petani coca (cocaleros), sejumlah orang-orang yang berutang, usaha pemerintah untuk menjual sumber daya gas alam ke perusahaan multinasional, dll. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan secara resmi tersebut telah bertemu dengan blokade-blokade jalan dan kota, pemogokan-pemogokan, kerusuhan, serangan-serangan di kantor-kantor polisi dan gedung-gedung milik pemerintah. Di sana pun terdapat sejumlah kecil koordinasi dari berbagai aktivitas.
Meskipun serikat buruh dan partai-partai, sebagaimana halnya organisasi poltik yang lainnya memiliki beberapa keterlibatan dengan berbagai pemberontakan, hal itu secara umum seolah-olah menjadi sesuatu yang periferal dan tujuan ke arah hal-hal yang bergerak pada arah reformasi dan pengesahan pemerintahan yang “lebih demokratik”. Meskipun begitu, beberapa pemimpin dari kelompok-kelompok ini sepertinya lebih memiliki pengaruh dibanding sehatnya suatu gerakan.

Namun disamping faktor reformis ini, metode dari perjuangan ini dalam beberapa tahun terakhir secara umum diambil dari bentuk aksi langsung yang otonom. Para petani pribumi di dataran tinggi dan cocaleros telah kembali ke metode-metode tradisional-informal dan non-hirarkis sebagai suatu cara dalam mengorganisir perjuangan mereka. Pada satu titik, mereka yang menjadi bagian dari perjuangan tersebut menyerukan pengabolisian parlemen dan membentuk dewan-dewan popular, sesuatu yang menandakan keinginan akan swa-organisasi atas kehidupan seiring dengan munculnya perjuangan mereka. Di samoing itu, para petani dan cocaleros mulai merespon represi dengan mulai mempersenjatai diri mereka.

Para anarkis telah begitu banyak terlibat dalam pemberontakan ini. Juvantedas Libertarias (Libertarian Youth) telah begitu aktif dalam perjuangan, berpartisipasi, menyediakan kritik-kritik sesegera mungkin terhadap berbagai aktivitas rekuperatif yang dilakukan oleh serikat buruh, partai-partai dan kelompok politik serta memperoleh berita dari luar.
Mujeres Creando (Woman`s Inisiative), yang merupakan sebuah kelompok anarcho-feminis, telah begitu aktif, khususnya dalam membantu orang-orang yang berutang (small debtors) dalam mengorganisasikan perjuangan mereka. Mungkin salah satu bentuk aksi mereka yang sangat dikenal adalah ketika small Debtors dipersenjatai dengan dinamit dan molotov cocktail, di antara para wanita yang merupakan para wanita yang terlibat dengan Mujeres Creando, yang berhasil mengambil alih tiga gedung pemerintahan.


Perjuangan yang terjadi di Bolivia sangatlah menarik dalam beberapa hal tertentu. Seluruh kelompok yang tereksploitasi, masing-masing dengan masalah dan pengalaman spesifik mereka, telah mampu mengkoordinasikan pemberontakan mereka, serta bertindak dalam suatu solidaritas. Metode-metode swa-organisasi yang sangat bermanfaat bagi perjuangan ini berhasil ditemukan dalam tradisi pribumi di negara tersebut. Para anarkis telah memainkan bagian yang sangat signifikan dalam perjuangan itu dan secara terus-menerus mengekspos kekuatan-kekuatan yang sifatnya rekuperatif.

Selasa, 28 Juni 2011

Filsafat Hasrat


“Sejarah adalah proses rasionalisasi.” Penggalan kalimat ini bukan metafora melainkan realita: realita tentang pendewaan rasio yang diamini sebagai ukuran normatif proses humanisasi (baca: pencapaian identitas diri sekaligus pembentuk sejarah hidup manusia). Rasio ditahtakan sebagai tuan atas sejarah hidup manusia dan merupakan access menuju identitas yang pasti. Pada titik ini, rasio adalah fakultas kudus mutlak, sementara unsur lain dalam diri manusia dipandang sebagai fakultas inferior semata.
Bertitik tolak dari pendewaan terhadap rasio ini, sejarah hidup manusia mulai dibangun. Rasio dieksternalisasi, dieksplorasi, dan diakumulasi untuk mengubah realitas menjadi sebuah produk yang bisa dengan mudah dikonsumsi oleh manusia. Realitas dipercanggih sekaligus disederhanakan menjadi produk aplikatif yang langsung bisa dipakai oleh manusia. Aplikasi yang mengorbankan nilai implikasi manusia akan realitas.

Bentuk pencanggihan rasio paling maksimal hadir dalam tampilan birokrasi dan teknokrasi. Teknokrasi dan birokrasi adalah hasil eksternalisasi rasio (baca: bentuk artifisial rasio) dan dengan demikian menjalani fungsi aplikatif paling maksimal. Di sini, birokrasi dan teknokrasi dibaca sebagai mega-machine yang memiliki sistem atau hukum yang sangat ketat. Sistem organisatif adalah ciri khas mega-machine teknokrasi dan birokrasi. Pada gilirannya, sistem ketat birokratif dan teknokratif ini menyedot manusia masuk ke dalam “labirin”, struktur artifisialnya, dan membubuhi manusia dengan sebuah fungsi partisipatif. Pembubuhan fungsi partisipatif mau tidak mau diterima manusia sebagai the given karena fungsi partisipatif adalah access menuju wilayah sosial. Pada saat “ditatoi” fungsi partisipatif, tubuh manusia menjadi rentan akan imagi-imagi sosial, aksioma, atau simulasi. Elemen-elemen sosial ini menyerang tubuh setiap individu, memenjarakan manusia, menstruktur wilayah kesadaran bahkan ketidaksadaran manusia. Totalitas manusia, dengan demikian, terkontaminasi sangat parah oleh elemen-elemen sosial.
Tetapi, Ego yang sadar malahan mengadopsi semua imagi-imagi sosial tersebut dan menjadikannya sebagai elemen fundamental pembentuk komposisi self. Dengan kata lain, Ego yang sadar membiarkan dirinya ditato oleh unsur eksternal dan mengalami “masturbasi” saat dilukai. Pada titik ini, manusia adalah diri yang fasis: subjek yang menginginkan orgasme saat bersetubuh dengan unsur-unsur eksternal. Manusia melemparkan dirinya ke dalam lautan imagi, aksioma, dan simulasi sosial kemudian membiarkan dirinya didominasi oleh logika tatanan sosial. Pelemparan diri manusia ke dalam tatanan sosial, awalnya, bertujuan luhur, yakni untuk mencapai humanisasi. Tetapi, humanisasi “mengelak” dari kejaran manusia dan yang dicapai adalah alienasi. Alienasi terjadi karena komposisi self setiap individu distruktur oleh tatanan sosial sebagai unsur eksternal.
Dengan demikian, hasil akhir dari humanisasi adalah alienasi dan terbentuknya subjek-subjek fasis, entah berskala individual (diri fasis) maupun sosial (masyarakat fasis). Karena itu, pengadilan terhadap rasio dan sejarah rasionalisasi mesti dimunculkan kembali. Pengadilan terhadap rasio dilakukan karena selain membimbing manusia pada alienasi, sejarah yang bertumpu pada rasio ternyata mengorbankan fakultas lain dalam diri manusia. Sebab, untuk mencapai humanisasi, manusia membunuh bagian lain dari dirinya: hasrat. Dari sisi ini, sejarah rasionalisasi sebenarnya dimulai dengan manipulasi: pendewaan
terhadap rasio serta penyingkiran epistemologis dan sikap indiferen terhadap hasrat. Dengan kata lain, hasrat menjadi tumbal dan dibunuh atau ditaklukkan dalam sejarah rasionalisasi.
Di penghujung sejarah rasionalisasi, Nietzsche datang dan memperkarakan status rasio sebagai ukuran normatif sejarah. Nietzsche datang membawa pedang dan membunuh rasio dari ranah filosofis. Rasio dibunuh dan diganti dengan hasrat: will to power. Pada titik ini, Nietzsche adalah filsuf yang mengembalikan “anak yang hilang” (the orphan desire) yang telah lama diabaikan dalam sejarah manusia.
Penemuan kembali the orphan desire oleh Nietzsche dirayakan dalam filsafat poststrukturalisme dan postmodernisme, melalui filsuf-filsuf Nietzschean. Deleuze dan Guattari adalah filsuf dan psikolog yang mengikuti jalur Nietzschean ini. Dalam kerangka Nietzschean, Deleuze dan Guattari mengadili rasio dengan menghadirkan kembali hasrat ke wacana diskursus. Penghadiran kembali hasrat ke wacana diskursus, sebenarnya, adalah penegasan terhadap kehadiran hasrat dalam realitas yang selama sejarah rasionalisasi diabaikan begitu saja. Sebab, bagi Deleuze dan Guattari, hasrat ada di mana-mana. Hasrat tidak pernah benar-benar ditaklukkan. Kehadirannya pada realitas sosial dan diri tidak bisa direpresi. Dengan kata lain, penjinakan terhadap hasrat dalam sejarah rasionalisasi adalah usaha yang sia-sia. Kastrasi atau pengebirian terhadap hasrat hanya akan menyuburkan kelahiran hasrat dalam jumlah yang lebih banyak lagi.
Hal ini tidak terlepas dari essensi hasrat sebagai roh yang selalu bergerak melampaui kategori ruang dan waktu, juga ruang dan waktu milik struktur-struktur sosial. Selain itu, hasrat didefinisikan sebagai mesin produktif yang selalu menghasilkan aliran-aliran yang disebut sebagai aliran skizofrenik hasrat. Ciri skizofrenik atau ke-“roh”-an hasrat memiliki beberapa konsekuensi logis:
1. pada level individu, hasrat skizofrenik membongkar segala identitas bentukan sosial yang opaque dalam diri dan menawarkan cara berada baru, yaitu membentuk subjek-subjek pasca fasisme: tubuh-tubuh nomadik. Tubuh-tubuh nomadik ditandai dengan proses migrasi manusia tanpa henti dari eksistensi yang satu ke eksistensi yang lain. Dengan kata lain, tubuh nomadik adalah diri yang berada dalam posisi transisional dan selalu berproses.
2. pada level makro, hasrat skizofrenik mengandung potensi revolusioner dan siap menumbangkan segala tatanan sosial yang ada. Penghancuran tatanan sosial adalah cara untuk membebaskan gerakan hasrat skizofrenik. Sebab, hasrat skizofrenik, pada dasarnya, selalu mengeksternalisasikan diri tanpa mengenal kriteria pembatas sosial apa pun.
Tentu saja, usaha untuk mengangkat hasrat ke wacana diskursus bukan usaha yang mudah. Deleuze dan Guattari membentangkannya ke hadapan kita dalam bahasa dan pemikiran yang radikal. Radikalisasi pemikiran mereka terletak pada penciptaan konsep-konsep yang kebanyakan tidak bisa dicari referensinya pada sejarah filsafat rasionalis. Selain itu, dan yang terutama, pemikiran mereka adalah tawaran untuk menjalani hidup “abnormal” dari kaca mata kenormalan sosial.(diambil dari pengantar buku "Skizoanalisis Deleuze-Guattari: Pengantar Genealogi Hasrat", karya Agustinus Hartono)