Jumat, 20 Maret 2009

Hubungan Feminisme dan Vegetarianisme


“Dosa terburuk terhadap sesama makhluk hidup bukan dengan membenci, namun dengan
mengacuhkan mereka. Ini adalah bibit dari ketidakmanusiawian.” (George Bernard Shaw)

KITA memaksa binatang melayani ‘kebutuhan’ manusia. Sebagai contoh dalam hal
makanan, pakaian, ilmu pengetahuan, hiburan, teman, olah raga, dan berbagai macam
lainnya. Dalam kehidupannya, perempuan dalam beberapa hal mengalami eksploitasi
serupa. Keduanya berada dalam tekanan budaya garis laki-laki, dan mengalami
pengurangan kebebasan - meskipun biasanya hal yang lebih parah terjadi pada
binatang. Sebagian besar masyarakat tidak menyadari diskriminasi seperti pengubahan
fungsi bahasa sehingga dapat digolongkan ke dalam pelecehan. Dan lebih banyak lagi,
kita tidak (mau) melihat ketidakadilan dan kekejaman yang mengatasnamakan kelebihan
kelompok (tertentu) manusia dari sesama makhluk.

Di dalam kamus Oxford, “animal” (binatang) dijabarkan sebagai benda/makhluk yang
dapat merasakan dan bergerak. Melalui ideologi, istilah “manusia” telah memisahkan
diri dari “binatang”. Kita telah memutuskan mata rantai yang menghubungkan kita
dengan spesies-spesies lain dari binatang. Sama seperti batasan-batasan yang
memisahkan orang kulit putih dan kulit berwarna, laki-laki dan perempuan. Rasisme
adalah kepercayaan yang menempatkan suatu ras tertentu lebih tinggi, berdasarkan
teori bahwa kemampuan, karakter dan lain-lain dari seorang manusia ditentukan oleh
ras. Sexisme adalah prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atau suatu
kelompok atau orang-orang berdasarkan jenis kelamin mereka. Garis-garis pemisah ini
telah dikenali dan ditolak namun telah ditanamkan sejak muda. Tidak berbeda dalam
kehidupan sehari-hari dengan rasisme dan sexisme adalah diskriminasi yang telah
tertanam dalam terhadap binatang-binatang lain yang bukan manusia. Diskriminasi
jenis ini disebut Speciesisme, yaitu suatu kepercayaan bahwa species-species
binatang yang berbeda (termasuk manusia) memiliki perbedaan kapasitas/kemampuan
untuk merasakan kesenangan dan kesakitan dan hak hidup bebasnya, biasanya mencakup
gagasan bahwa species tertentu memiliki hak menguasai dan menggunakan/memanfaatkan
species-species lainnya. Mungkin banyak orang berpikir bahwa menyetarakan
penderitaan binatang-binatang bukan manusia hal-hal yang dialami oleh manusia adalah
penghinaan.



Disamakan dengan seekor binatang dalam budaya kita adalah sama dengan dikecilkan
artinya, atau dianggap tidak memiliki pikiran dan lepas kontrol. Yang sering
digunakan adalah ejekan dengan meneriakkan “binatang” dan melupakan bahwa manusia
itu sendiri adalah salah satu jenis speciesnya. Sama seperti istilah “mankind” (man
= laki-laki) yang menempatkan perempuan diluar lingkarang kemanusiaan. Orang
menggunakan nama-nama binatang untuk menempelkan label pada korban-korban mereka.
Ketika seorang perempuan disebut sebagai “sebodoh kelinci”, atau “segemuk sapi”,
kita mengetahui perempuan tersebut telah dilecehkan karena binatang biasanya
menerima penghormatan yang jauh lebih kurang daripada yang diterima oleh perempuan.
Howard Buchbinder, penulis buku “Male Heterosexuality” mengupas stimulus seksual
laki-laki dan tanggapan merreka terhadap perempuan. Tahapan stimulasi, seperti juga
proses pengubahan binatang menjadi daging, dapat diuraikan dalam tiga tahap:

Penempatan sebagai obyek cara laki-laki melihat perempuan sebagai sebuah konsep.
Sebuah kumpulan, suatu benda, suatu obyek, sebuah kumpulan yang tidak dipandang
sebagai individu per individu. Dengan menempatkannya sebagai obyek, laki-laki tidak
lagi perlu berhubungan dengan perempuan pada tingkat personal. Feminisme telah
menunjukkan kepada kita bahwa bahasa kita tidak hanya berpusat pada laki-laki,
tetapi juga selalu dari sisi manusia.

Bahasa garis laki-laki bersikeras bahwa kata ganti yang diperuntukkan bagi laki-laki
bersifat umum mengacu pada manusia baik laki-laki maupun perempuan, sekaligus khusus
mengacu hanya pada laki-laki. Sama halnya dengan “it” yang mengacu pada benda-benda
mati dan tidak bergerak yang jenis kelaminnya tidak dipersoalkan atau tidak
diketahui.

Seperti “he” yang mengesampingkan kelompok jenis kelamin perempuan dalam
kemanusiaan, “it” tidak menyentuh aspek kehidupan yang ada pada diri para binatang
dan memberi mereka status obyek. Hal ini mengingkari kebebasan hidup dari binatang
tersebut. Binatang-binatang yang dianggap sebagai penghasil makanan dikembangbiakkan
baik dalam jumlah kecil maupun besar tidak dilihat sebagai individu, tidak sama
dengan perlakuan lebih bersahabat yang dialami oleh binatang peliharaan.

Perempuan dapat dipandang sebagai obyek seksual sebagai akibat dari gambaran yang
diperoleh dari budaya yang sedang berkembang sekarang ini. Para perempuan mungkin
mengungkapkan perasaan mereka dengan berkata bahwa mereka diperlakukan seperti
“seonggok daging”, harus ditekankan disini bahwa binatang benar-benar diperlakukan
sedemikian rupa.

Fiksasi/pengkhususan cara laki-laki membagi-bagi tubuh perempuan dari
individu-individu secara keseluruhan menjadi bagian-bagian yang secara khusus
dilihat secara seksual, seperti dada, paha, pantat atau pangkal paha. Pada binatang,
pengkhususan menjadi pemisah-misahan. Ini adalah tahap penjagalan, di “jalur/lajur
pemisahan” tempat tubuh binatang dipotong dan dipisahkan menjadi bagian-bagian yang
dapat dimakan dan tidak dapat dimakan. Kita mencari istilah terselubung bagi tubuh
mati dari binatang, yaitu daging, dan memasak serta membumbui dan menutupi binatang
tersebut dengan berbagai rempah dan saus untuk menyembunyikan bau dan bentuk asli
mereka.

Yang terakhir, penaklukkan, dengan keberhasilannya menempatkan perempuan sebagai
obyek yang terbagi-bagi sebagian laki-laki mencapai suatu tingkatan kepuasan
seksual.

Agar setiap orang dapat menikmati kebebasan, tak seorangpun dapat ditekan. Seorang
pemilik budak menghilangkan dua kebasan. Satu kebebasan budaknya, satu lagi
kebebasan dirinya sendiri.

Ciri-ciri penekanan terhadap perempuan dan penekanan terhadap binatang menunjukkan
begitu banyak persamaan sehingga tidaklah mengherankan jika feminis-feminis awal
kebangsaan Amerika sejak jaman Lucy Stine, Amelia Bloomer, Susan B. Anthony, dan
Elizabeth Cady Stanton sampai ke jaman Morgan (The Descent of Woman), Elizabeth
Gould Davis (The First Sex), Laurier Holliday (The Violent Sex) telah menjauhi
perbudakan binatang.

Jika semua yang mendukung falsafah dasar dari kebebasan menyangkut ras, jenis
kelamin, orientasi seksual, atau species bersatu dalam suatu pergerakan menjauhi
segala bentuk eksploitasi dan penekanan, maka semua binatang manusia dan bukan
manusia, laki-laki dan perempuan akan terbebaskan.